Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Ocehan Ideologis

Pacaran sebagai Seni Tidak Memahami

sumber foto: pixabay.com F. Budi Hardiman dalam bukunya, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida   (Kanisius, 2015) menjelaskan bahwa tidak memahami juga bagian dari pemahaman. Ungkapan seperti, “Saya tidak paham dengan dirimu”, menunjukkan bahwa sebenarnya saya melakukan tindakan memahami dengan cara tidak memahami. Ketidakmungkinan saling memahami itulah yang membuat status ini sangat penting bagi peradaban manusia yang hendak dan/atau sedang pacaran. Hal yang sama dijelaskan oleh Paul Verhaeghe dalam esainya bertajuk “From Impossibility to Inability: Lacan’s Theory on the Four Discourses” dalam Does the Woman Exist  (1995) tentang bagaimana Lacan mendefinisikan komunikasi secara negatif. Verhaeghe menulis bahwa umumnya tujuan utama dari teori komunikasi yakni membawa komunikasi kepada standar yang sempurna dengan cara menghilangkan segala sesuatu yang ribut (noise) agar pesan bisa dengan bebas mengalir antara sender dan resipien. Namun Jacques Laca...

Cinta dan Demokrasi Kita yang Ringkih

Sumber gambar : Finansial Times Dari Simposium Plato hingga The Second Sex karya Simone de Beauvoir, para filsuf dan pemikir politik berulang kali bertanya: apa itu cinta? Dari mana asalnya, apa fungsinya, dan apa yang dituntutnya? Bagi Hannah Arendt, cinta romantis itu apolitis karena menjauhkan kita dari dunia. Dalam Minima Moralia, Theodor Adorno berpendapat bahwa cinta adalah satu hal dalam masyarakat konsumen yang kita anggap takdir dan bukan masalah pilihan. Melalui cinta, Jean-Jacques Rousseau membuat perbedaan antara amor de soi (semacam egoisme) dan amour propre (semacam harga diri) untuk memikirkan ketidaksetaraan dalam masyarakat sipil. Erich Fromm melihat cinta sebagai bentuk seni, sementara Herbert Marcuse menganggap cinta yang sangat menyimpang adalah alat untuk melawan kapitalisme. Hal yang membedakan tulisan ini dari perspektif beberapa filsuf di atas adalah pendekatan yang digunakan. Jika yang pertama menggunakan penalaran epistemologis filosofis maka status ini bertol...

Ketika Niat Balikan Dibungkam, Curhat Harus Bicara!

Sekurang-kurangnya, ada dua poin penting yang bisa ditarik dari judul di atas. Pertama, revolusi dimulai dari adanya niat balikan  Mengenai hal ini, kalian mungkin pernah membaca karya Karl Marx, Das Kapital . Selain membahas persoalan ekonomi dan perjuangan kelas, dalam Communist Manifesto, Surat Edaran Marx dan Engels (1848), setidaknya ada teriakan revolusioner yang saya plesetkan menjadi,  kaum jomblo sedunia, bersatulah! Tidak perlu dibahas, mengapa mesti ada persatuan dulu baru tercipta revolusi. Saya tidak membicarakan hal tersebut di sini. Itu masa lalu saya. Baiklah, kembali ke pokok persoalan. Jauh di dalam lubuk hati yang paling tulus, banyak orang yang sesudah "putus", memendam harapan untuk balikan. Terdapat semacam daya penyesalan sekaligus prinsip untuk tidak mengulangi kesalahan yang menyebabkan hubungan antara seseorang dan mantan kekasihnya berakhir. Jujur, niat seperti itu sama sekali tidak lucu. Pertobatan, atas cara tertentu, juga mengedepankan ...

Altius, Citius, Fortius dan Mengapa Kita Butuh Spiritualitas

qureta.com Di tepi sungai Hudson, di Irvington, New York, sebuah rumah megah berdiri. Terdiri dari 25 ruangan, rumah itulah tempat tinggal pendeta Sun Myung Moon, seorang Korea yang pendek dan gagah dalam usia 58 tahun, yang gemar mengail menggunakan kapal pesiarnya yang mewah. Ia membangun gereja, seraya menganggap Kristus telah gagal. Juru selamat kedua karenanya menurut dia turun: seorang Korea, kurang lebih dirinya sendiri. Tak sedikit anak muda Amerika yang datang, dengan penuh ketaatan. Ada seorang anak yang diminta ayah-ibunya agar kembali. Tapi ia menyahut: “Paling sedikit, Ibu, saya telah beriman kepada sesuatu.” Dan kita semua terpekur: Anak-anak, dengan cara apa mereka percaya?   Dalam novel Dee, Partikel, kita bertemu dengan Zarah. Syahdan, ketika ia akhirnya masuk sekolah-setelah ayahnya tidak ada lagi-Zarah mulai merasakan posisinya yang asing. Ia tak bisa meletakkan keyakinan di antara keyakinan yang telah dikukuhkan masyarakat. Pertanyaan: “Kamu...

Demokrasi dan Kekecewaan Para Mantan

Demokrasi bukanlah bak penampung air hujan yang, kalau kapasitasnya kecil, air akan tumpah ke luar. Atau sebaliknya, sebesar apa pun bak penampung tersebut, hujan tidak pernah berjanji untuk menjatuhkan tetesannya ke bumi sesuai dengan ukuran bak tersebut, bukan?  Dengan demikian, demokrasi, di satu sisi memang sungguh menjadi sarana representasi paling kece, tetapi di lain sisi justru terdapat banyak hal yang luput dari perhatiannya. Gerakan separatisme, pemberontakan, demonstrasi, dan beberapa kisruh politik merupakan salah satu dari sekian banyak bukti bahwa demokrasi memang tidak pernah mencukupi. Demokrasi itu seperti hasrat; yang kalau dipenuhi berarti demi bertumbuhan hasrat yang lebih baru lagi. Begitu seterusnya. Kekecewaan pada sistem demokrasi di Indonesia mencerminkan betapa muaknya rakyat di hadapan pelbagai kebijakan yang cacat. Rakyat muak dengan begitu banyaknya janji politik yang tak kunjung ditepati. Rakyat muak dengan ideal kehadiran Negara yang tid...

Kebebasan dari Perspektif Seorang Jomblo

Kalian pasti pernah mendengar pernyataan “Menjadi jomblo itu pilihan” dan menganggap bahwa hal itu biasa-biasa saja. Tetapi bagi saya, terdapat persoalan serius dalam kalimat tersebut yakni penggunaan kata “pilihan”.  Jika disuruh memilih, tidak mungkin tidak ada option A, B, atau C yang disodorkan terlebih dahulu kepada si Pemilih, bukan? Nah, kejanggalan akan muncul bila terdapat deksripsi lanjutan seperti, “Engkau bebas memilih antara A, B, atau C”.  Bagi saya, ini aneh! Apa itu kebebasan? Mengapa ada keyakinan nan mulia bahwa pilihan seseorang menjadi jomblo itu murni dari hati nuraninya yang terdalam? Saya tidak yakin. Dalam salah satu adegan Film “The Lady” yang disutradarai oleh Luc Besson, seorang tokoh pemerintah Myanmar menginterogasi Aung San Suu Kyi dari liga pro-demokrasi. “Engkau bebas memilih antara menyelamatkan negaramu ataukah keselamatan keluargamu,” katanya. Beberapa menit berselang, Aung San Suu Kyi mengangkat mukanya.  Dengan mata mem...

Di Balik PDKT yang Bermakna, Terdapat Psikoanalisa yang Kuat

Terkutuklah semua laki-laki yang tidak mampu melihat Medea dalam diri setiap perempuan (Jacques Lacan) Dua Paham yang Menyebabkan Kita Putus: Marxisme-Leninisme Teoretikus Marxisme klasik mungkin mengatakan, di balik dompet yang tebal, ada cinta yang kuat. Di sana, ada legitimasi faktor ekonomi sebagai base terhadap cinta sebagai superstruktur yang menentukan perkembangan sejarah hidup manusia. Cinta lalu menjadi semakin material (bukan materialistik) karena mensyaratkan adanya faktor ekonomi; dan itulah yang membuat cinta sekaligus kuat dan rapuh. Kekuatan dan kerapuhan cinta yang mengandalkan alat-alat material dalam dunia produksi antara kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (kelas pekerja), dipercaya oleh Marxisme klasik sebagai satu-satunya syarat lahirnya revolusi. Tentu saja, revolusi lahir dari konflik vertikal di mana kaum proletar yang sadar akan ketertindasannya, membangun persatuan untuk menggulingkan kekuasaan kaum borjuis. Dengan kata ...