Terkutuklah semua laki-laki yang tidak mampu melihat Medea dalam diri setiap perempuan (Jacques Lacan)
Dua
Paham yang Menyebabkan Kita Putus: Marxisme-Leninisme
Teoretikus
Marxisme klasik mungkin mengatakan, di balik dompet yang tebal, ada cinta yang
kuat. Di sana, ada legitimasi faktor ekonomi sebagai base terhadap cinta
sebagai superstruktur yang menentukan perkembangan sejarah hidup
manusia. Cinta lalu menjadi semakin material (bukan materialistik) karena mensyaratkan
adanya faktor ekonomi; dan itulah yang membuat cinta sekaligus kuat dan rapuh.
Kekuatan
dan kerapuhan cinta yang mengandalkan alat-alat material dalam dunia produksi
antara kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (kelas pekerja),
dipercaya oleh Marxisme klasik sebagai satu-satunya syarat lahirnya revolusi.
Tentu saja, revolusi lahir dari konflik vertikal di mana kaum proletar yang
sadar akan ketertindasannya, membangun persatuan untuk menggulingkan kekuasaan
kaum borjuis.
Dengan
kata lain, ada kepercayaan bahwa dimensi konfliktual di atas merupakan unsur
konstitutif yang membentuk tatanan sosial baru. Semacam ada keyakinan bahwa karena
konflik-konflik atau pertentangan-pertentangan atau perselisihan-perselisihanlah,
kita bisa bangun rumah tangga.
Berbanding
terbalik dengan pemikir Abad Pertengahan dan Yunani Klasik yang menekankan
keteraturan kosmis dan teologis, penganut teori konflik (Ibn Khaldun,
Machiavelli, Hobbes, Hume, Maltus, Marx) menolak keteraturan karena mereka
berasumsi bahwa di balik integrasi, ada tindakan pemaksaan dengan kekerasan. Atau,
di balik busana blush on heteroseksual, ada pipi yang ditampar.
Paradoksnya,
alih-alih menolak keteraturan yang dianggap mengandung kekerasan, revolusi kaum
buruh versi Marxisme klasik justru mengandalkan kekerasan. Celakanya, untuk
mengelola dimensi konfliktual tersebut, mereka mementingkan kehadiran institusi
negara. Jadi, ketika bersitegang dengan pacarmu misalnya, Anda membutuhkan
kehadiran orang ketiga sebagai mediator entah itu kawan, mantan, polisi, bahkan
negara. Anda sama sekali tidak diberi kemungkinan atau keahlian untuk mengelola
konflik itu bersama pasanganmu.
Meskipun
demikian, Karl Marx memberikan sumbangan besar dalam bidang ekonomi. Jika
membaca Das Capital, kita menemukan bahwa Marx bersandar atas dialektika
materialistis atas semua faktor dalam ekonomi yang dikumpulkan para ahli sejak Aristoteles
sampai David Ricardo. Dengan data tersebut, Marx berhasil menetapkan asal,
keadaan kemajuan dari kemungkinan sistem kapitalisme di hari depan.
Sayangnya,
perkembangan globalisasi dan digitalisasi luput dari perhatian Marx dan Marxisme
Klasik. Sebagaimana nantinya dikritik oleh pemikir Post-Marxis, konsep kelas,
nilai, logika produksi, dan dominasi dalam Marxisme Klasik merupakan konsep
yang bermasalah. Seorang guru yang mengisi waktu luangnya dengan berbisnis di
jual-beli online cukup sulit masuk dalam register kelas pekerja karena,
kelas proletar versi Marx adalah buruh pabrik yang bekerja dengan sistem waktu
yang ketat dan disiplin yang mengikat.
Atau
konsep mengenai nilai lebih (surplus of value) yang hemat Marx berimbas pada
tewasnya kapitalisme di dalam kuburan yang ia gali sendiri. Dibahasakan secara
berbeda, alih-alih meramalkan bahwa keberhasilan PDKT bergantung pada akumulasi
modal, kebahagiaan justru tidak semata-mata diwakilkan oleh petanda permanen
semisal uang dan barang atau memiliki banyak pacar (baca: simpanan).
Tepat
pada level inilah, untuk menghindari adanya penumpukan komoditas karena
terbatasnya kategori konsumen, kapitalisme membiak dengan mereformasi
formulanya melalui ekspansi, melintasi negara dan benua, bahkan merangsek masuk
sampai ke kamar tidur dan toilet. Inilah yang kemudian dikenal dengan
kapitalisme neo-liberal.
Lalu
terjadilah tragedi ini: Jalinan asmaramu berakhir karena pacarmu selingkuh di facebook!
Atau yang lebih sadis: Anda diputuskan oleh pacarmu karena ia lebih memilih
makhluk virtual dan kaya dari Frankfurt melalui instagram.
Karena
patah hati, Anda lalu terjun ke dunia politik dan berupaya mengusir frustrasi
dengan membaca biografi Lenin yang potretnya dipajang Slavoj Zizek di kamar
tidurnya. Dari pemikir Slavonia itulah, Anda mulai mengerti perbedaan antara
Marxisme sebagai ideologi yang kaku dan Marxisme yang, oleh Frankfurt School
generasi kritis, disebut sebagai pandangan hidup.
Namun,
Anda lebih bergairah dengan yang pertama, mengingat keberhasilan Lenin dalam revolusi
pada tahun 1917 justru karena ia menjadikan Marxisme sebagai ideologi gerakan. Dengan
menggunakan cara berpikir dialektika materialis yang dijalankan atas semua
kodrat sosial di Rusia, Lenin berhasil ‘mengenal’ sifat dan kodrat semua
golongan revolusioner. Akhirnya, ia berhasil menumbangkan feodalisme dan
kapitalisme satu demi satu, hampir sekaligus.
Anda
lalu mengambil nasihat dari ‘metode pengumpulan data’ versi Lenin ini: di balik
PDKT yang behasil, pasti ada strategi yang canggih! Namun, jangan senang dulu.
Strategi saja belum cukup jika tidak disertai dengan ideologi yang komprehensif
dan cair. Itulah alasannnya mengapa kemudian Uni Soviet (juga tembok Berlin) ‘diruntuhkan’
bukan dengan senjata seperti tank dan nuklir melainkan dengan kaleng-kaleng
coca cola, McDonald, dan musik rock.
Lalu,
apa yang mesti dilakukan? Tentu saja dalam tulisan kali ini, saya tidak
membeberkan strategi yang kaku untuk dijadikan pegangan dan diterapkan secara
“mentah-mentah” dalam pluralitas konteks hidup pembaca.
Sebaliknya,
saya coba memaparkan cara pandang lain dalam register postrukturalisme yang disebut
sebagai psikoanalisa. Oleh karena itu, jika Anda berharap menemukan semacam
metode terbaik untuk mendapatkan pacar, berhentilah membaca tulisan ini.
Provokasi
Psikoanalisa: Berani Katakan Putus!
Apa
itu PDKT? Bagaimana proses pembentukan subjek melalui PDKT yang gagal? Apa dan
bagaimana caranya memosisikan PDKT sebagai sebuah proses yang berlangsung
sepanjang hidup?
Menjawabi
tiga pertanyaan di atas, terutama dari perspektif psikoanalisa Lacanian, melalui
tulisan ini Anda diprovokasi untuk berani katakan putus. Hanya dengan cara itu,
Anda belajar menjadi subjek yang otentik sebab, di mana-mana, pernikahan selalu
lahir dari upaya mengatasi kekecewaan, kegetiran, sakit hati, depresi, dan isak
tangis. Tepat pada level inilah, psikoanalisa hadir sebagai kata kerja.
Dalam
psikoanalisa Jacques Lacan, dikenal tiga tatanan utama yakni the Real, the
Symbolic dan the Imaginary. The Real adalah dunia sebelum
dikenai oleh bahasa, dengan demikian, dapat disebut ia ada tetapi sekaligus
tidak ada (ia ada tapi oleh karena belum dikenai bahasa ia menjadi tidak ada), the
Symbolic adalah realitas atau segala hal yang sudah dikenai oleh bahasa.
Sementara the Imaginary adalah ekses yang diakibatkan
ketakmungkinan the Symbolic dalam menamai the Real.
Berkaitan
dengan tiga tatanan di atas, secara kasar saya membagi PDKT ke dalam dua model
sebagai berikut:
Pertama, PDKT sebagai upaya mendapatkan pacar, di mana proses tersebut
dianggap rampung tepat ketika kalian bersepakat untuk berpacaran. PDKT model
ini kebanyakan dijalankan oleh orang yang miskin imajinasi dan gampang diserang
panik ketika disebut jomblo.
Celakanya,
PDKT jenis ini hanyalah pelarian dan merupakan simtom dari persoalan yang
sesungguhnya yakni kerentanan manusia (entah Anda, entah saya). Akibatnya,
ketika PDKT berhasil dan mulai berpacaran, Anda menemukan bahwa masalahnya
bukan karena Anda tidak mampu mencintai orang lain tetapi karena Anda gagal
mencintai, menerima, dan mengakui kegelisahan-kegelisahan dan kelemahan diri Anda
sendiri.
Inilah
yang disebut sebagai the Real, sesuatu yang semua orang ingin capai
namun mustahil digapai. Bandingkan misalnya orang yang berhasrat menemukan
kebahagiaan dalam cinta namun pada akhirnya mesti bersiap kecewa sebab kebahagiaan
tidak otomatis ada di dalam cinta sebagaimana rasa manis yang inheren dalam
gula.
Dalam
sejarah bangsa Indonesia, hemat saya, belum pernah sekalipun psikoanalisa
diperkenalkan secara serius baik sebagai disiplin ilmu dan bidang kajian serius
maupun sebagai pandangan hidup. Sementara itu, Marxisme-Leninisme memang pernah
menjadi ideologi dominan pada era Soekarno terutama melalui legitimasi Partai
Komunis Indonesia (PKI) serta kecanggihan term Nasakom (Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme) versi Soekarno untuk melawan imperialisme Barat. Sayangnya,
kegemilangan ini terpaksa dihentikan oleh Soeharto guna melanggengkan projek
pembangunan dan ‘keamanan’.
Sebaliknya,
di Eropa dan Amerika misalnya, psikoanalisa merupakan syarat utama pembentukan
subjek karena ia menjangkau bagian terdalam setiap orang. Selama ini kita
terlalu sibuk berbicara tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik, pacar
yang baik, dan isteri yang baik tetapi absen mengelaborasi dimensi paling
rahasia dalam diri subjek: kegagalan dan kerapuhan menjadi warga negara, pacar,
dan isteri yang ‘baik’ itu.
Inilah
alasannya mengapa konsep warga negara yang diperkenalkan di Indonesia sama
sekali belum menyentuh level terdalam yakni kepribadian subjek. Kita terlalu
sibuk mengejar keteraturan, hingga merepresi apa yang disebut sebagai
‘enjoyment’ atau jouissance. Akibatnya, kita sibuk mengurus apa itu
ideologi Pancasila namun gagap menerima nilai yang dianggap bersebrangan
melalui frasa “Anti-PKI, anti-HTI, anti-FPI,” dan seterusnya.
Kedua, PDKT sebagai metode memahami orang lain seumur hidup. Uniknya,
dari perspektif psikoanalisa Lacanian, PDKT jenis ini merupakan kemustahilan
karena sampai kapan pun kita tidak pernah bisa benar-benar memahami orang lain.
Alasannya sederhana: ada lubang hasrat dan lackness. Inilah alasannya
mengapa setelah berpacaran atau menikah, Anda berusaha mencintai orang yang
sama dengan cara-cara yang selalu baru.
Mengapa
demikian? Jawabannya: karena manusia adalah makhluk yang berkekurangan, dalam
dua arti: Pertama, dalam arti ketercerabutannya dari status the Real
ketika memasuki the Symbolic. Status ini menghadirkan “kerinduan” dan
nostalgia permanen terhadap kondisi primordial yang “dialami” selama dalam
kandungan. Dengan kata lain, ketika Anda berhasrat mencintai seseorang, itu
merupakan bentuk kerinduan Anda terhadap persatuan primordial dengan sosok ibu
yang dicari dalam diri pacar Anda itu.
Kedua, dalam arti penemuan ego dalam fase cermin, yakni ketika subjek
secara tragis menemukan “citra diri” yang dianggap sebagai dirinya yang utuh
dan otentik. Padahal, diri atau ego di situ bukan lain adalah ego yang dibentuk
dari “hasrat sang Lain” (bapak/ibu/keluarga). Subjek merasa menemukan dirinya
padahal diri yang ditemukan adalah diri yang telah teralienasi.
Contohnya:
Anda berupaya mendekati seseorang yang dianggap cantik atau tampan untuk
dipacari bukan karena Anda benar-benar mengingkan hal ini melainkan karena
dunia (orangtua, kawan, film, dan negara) mendesak Anda untuk yakin bahwa kecantikan
dan ketampanan itu penting. Tidak mengherankan apabila dalam sejarah, pacaran
dan menikah berlandaskan tekstur wajah tirus, berambut lurus, berbadan kekar,
dan bermata indah sama sekali tidak cukup karena register itu diberikan dari
luar; tepat pada saat Anda sendiri belum mampu mendefinisikan apa itu
kecantikan dan ketampanan.
Ambil
contoh lain, ketika seorang anak minum susu berulang-ulang, tentu bukan karena
ia lapar melainkan tahu bahwa kedua orang tuanya mengharapkan ia minum susu,
dengan minum susu ia memenuhi hasrat dan menyenangkan hati orang tuanya. Inilah
penyerahan dan sirkulasi jouissance kepada yang lain dan kepada the
Symbolic (orangtua, keluarga, atau negara) yang juga disebut sebagai
kastrasi.
Hanya
yang kehilangan dan tak lengkaplah, yang bisa mencintai, kata Lacan. Maksudnya,
hanya melalui kastrasi semacam itulah, pacaran dimungkinkan. Tidak berhenti di
situ. Kastrasi berlangsung terus menerus seumur hidup mengingat pemenuhan satu
hasrat selalu akan memunculkan hasrat yang baru.
Anda
kuliah di Jawa bukan karena Anda butuh belajar melainkan demi memenuhi fantasi orang
tua tentang pendidikan ideal. Anda menikah bukan karena Anda menginginkannya
melainkan karena masyarakat menilai betapa tidak baik bagi perempuan berusia 35
tahun seperti Anda belum juga menikah. Anda lalu kuliah dan menikah seolah-olah
itulah keinginan Anda.
Tepat
di sinilah, alienasi terjadi. Sesuatu yang kemudian disebut sebagai syarat
pertama mencintai. Ketika Anda berani kuliah dan menikah dengan mengorbankan
keingian atau kebutuhan Anda sendiri, itulah yang dinamakan ‘cinta’. Tetapi
bagaimana jika sebaliknya Anda berjuang melawan semua fantasi the Symbolic di atas? Itulah yang
disebut sebagai subjek otentik.
Untuk
itu, Anda perlu putus dari pacarmu, putus dari orangtuamu, putus dari suamimu. Putus
maksudnya, Anda melampaui logika ketergantungan dan signifikasi terhadap yang
Lain. Sebab, mengutip Yesus, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak
membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki
atau perempuan, bahwakan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
(Lukas 14:26)
Pacaran
sebagai Seni Tidak Memahami
F.
Budi Hardiman dalam bukunya, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher
sampai Derrida (Kanisius, 2015) menjelaskan bahwa tidak memahami juga
bagian dari pemahaman. Ungkapan seperti, “Saya tidak paham dengan dirimu”,
menunjukkan bahwa sebenarnya saya melakukan tindakan memahami dengan cara tidak
memahami.
Ketidakmungkinan
saling memahami itulah yang membuat provokasi untuk mengatakan putus bersifat
krusial. Hal yang sama dijelaskan oleh Paul Verhaeghe dalam esainya bertajuk “From
Impossibility to Inability: Lacan’s Theory on the Four Discourses” dalam Does
the Woman Exist (1995) yang menjelaskan bagaimana Lacan mendefinisikan komunikasi
secara negatif (dugaan saya, perspektif yang sama juga digunakan oleh St.
Sunardi dalam bukunya Semiotika Negativa).
Verhaeghe
menulis bahwa umumnya tujuan utama dari teori komunikasi yakni membawa komunikasi kepada standar
yang sempurna dengan cara menghilangkan segala sesuatu yang ribut (noise) agar
pesan bisa dengan bebas mengalir antara sender dan resipien.
Sementara
itu, Jacques Lacan memulai teori komunikasinya dengan asumsi bahwa komunikasi senantiasa
gagal. Mengutip Lacan, Verhaeghe
menulis, “bagaimana
pun juga komunikasi mesti gagal dan karena alasan itulah mengapa kita tetap
terus berbicara. Jika kita saling memahami, kita akan diam. Cukup beruntung,
kita tidak saling memahami sehingga kita harus berbicara satu dengan yang lain”.
Bagi
Lacan, jika komunikasi konvensional mereduksi berbicara sekadar pada konsensus
maka hal itu justru melenyapkan status ketidaksadaran. Dengan menganjurkan
wacana histeris (sebagai lawan dari wacana akademis), ketidaksadaran bukan
hanya berbicara, tetapi seperti kata Lacan dalam aksioma, the unconscious is
structured as a language.
Pernyataan
provokatif di atas, secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa penciptaan
pelbagai platform media sosial misalnya, tidak akan pernah secara purna
menjawabi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi. Dikatakan demikian karena
dalam diri setiap subjek terdapat apa yang disebut Lacan sebagai abyss. Sebuah
jurang atau gap yang tidak terjembatani. Atau mengutip Aan Mansyur,
jurang antara kebodohan dan keinginanku untuk memilikimu sekali lagi.
Jurang
itu pula yang menyebabkan kapitalisme dan komodifikasi tidak pernah berhenti
bermetamorfosis. Jurang yang sama itu pula yang membuat mantan membiak bagai
jamur di samping kapitalisme menjelma serupa vampir. Tepat pada level itulah,
manusia tetap setia menjaga mulutnya agar tidak berhenti berbicara dan merawat
jempolnya untuk berkanjang dalam menulis komentar.
Saya
menduga, ini pula alasannya mengapa perkawinan bukanlah cara yang paling tepat
bagi tumbuh dan berkembangnya kebahagiaan. Demikian pula pacaran yang secara
konvensional cenderung dianggap sebagai salah satu dari sekian tahapan sebelum
melangkah ke jenjang pernikahan.
Alih-alih
fokus pada upaya membangun keluarga dalam perkawinan atau merawat cinta dalam
pacaran, psikoanalisa justru menaruh perhatian pada aktivitas ‘menyimpang’
seperti perselingkuhan dan niat untuk putus. Alih-alih fokus pada rasionalitas,
psikoanalisa fokus pada ketidaksadaran. Alih-alih fokus pada upaya menjadi
subjek yang otonom, psikoanalisa fokus pada kegagalan menjadi subjek.
Dengan
kata lain, psikoanalisa berupaya membahas hal yang tidak dibicarakan atau
berusaha dihindarkan orang kebanyakan yakni situasi kekelaman, kerentanan, dan
kerapuhan sang subjek. Melalui kondisi seperti itulah, proses pembentukan
subjek dimungkinkan mengingat tanpa ada kekurangan dan kerentanan dalam term
psikoanalisa dan mukjizat dalam term teologis, cinta sejati mustahil terwujud.
Dalam
karyanya berjudul Emile or On Education, Jean-Jacques Rousseau menulis
tentang perkembangan manusia, khususnya melalui pendidikan, untuk mencapai
standar-standar reason dan intellect. Pendidikan tahap terakhir
mengajarkan tentang sosialisasi, pertemanan, agama, dan seks.
Tentu Emile,
tokoh utama buku Rousseau itu, membutuhkan teman yang “pantas” agar bisa
menjadi manusia yang seutuhnya, mandiri dan bebas. Namun, teman bagaimanakah
yang “pantas”? Pemutlakan pada akal budi seperti inilah yang membuat pembahasan
cinta dan hasrat di abad modern, yang tertuang dalam pemikiran Rousseau,
Descartes, Hume atau Kant, tampak membosankan.
Berbanding
terbalik dengan hal di atas, Jacques-Alain Miller dalam bukunya On
Semblances in the Relation between Sexes (2000) menunjukkan bagaimana
pembacaan Lacan terhadap Tragedi Medea karya Euripides. Medea
ditulis dengan mengambil latar Athena 413 SM. Tragedi ini mengisahkan kehidupan
perempuanbernama Medea, suaminya Jason, dan anak-anak mereka.
Sebagai
seorang istri dan perempuan, Medea sudah memenuhi semua kewajibannya. Demi
menikah dengan Jason, Medea telah mengkhianati ayah dan bangsanya, bahkan
secara tidak langsung dengan menggunakan tenaga Pelia, ia telah membunuh
ayahnya sendiri. Akibatnya, Medea harus rela hidup dalam pengasingan di
Korintus bersama suami dan anak-anaknya. Untuk sesaat, perkawinan Jason dan
Medea berlangsung tanpa pertikaian apa pun.
Tragedi
dimulai di suatu hari, manakala Jason menyampaikan niat mengawini seorang
perempuan lain, putri Creon. Medea sama sekali tidak bisa menerima niat Jason.
Tetapi suaminya tetap berkeras hati. Medea mengalami depresi. Ia kehilangan
daya hidup dan meratapi diri setiap malam. Di ujung ratapannya, meluncurlah
ungkapannya yang legendaris:
Of all living things which are living and can form a judgment
We woman are the most unfortunate creatures…
Jason
mencoba membujuk Medea dengan menawarkan segala ‘kebaikan’ dan jaminan bagi
hidup Medea dan anak-anaknya. Jason berjanji tidak akan menelantarkan mereka.
Tapi, Medea tetap tidak bisa menerima ‘kebaikan’ Jason. Baginya, begitu Jason
mencintai perempuan lain, maka ‘memiliki’ tidak lagi bermakna apa pun.
Medea
memutuskan membalaskan sakit hatinya kepada Jason. Tapi ia tidak ingin membunuh
Jason. Baginya, itu akan terlampau sederhana dan tak akan pernah bisa
mengembalikan lagi apa yang telah rusak dan terenggut dari dirinya. Ia memilih
mencari titik paling memilukan bagi kehidupan suaminya. Maka ia memutuskan
untuk membunuh pengantin suaminya dan anak-anaknya sendiri.
Melalui
kisah di atas, Euripides berupaya menunjukkan nilai moral dari tindakan ekstrem
dengan menggambarkan rasa sayang Medea sebagai ibu kepada anak-anaknya di
saat-saat terakhir memilukan kehidupan anak-anak itu. Bagaimana Medea berbisik
lirih di telinga anak-anak itu; bagaimana ia mendongengkan kembali siapa
dirinya, siapa mereka, dan apa sesungguhnya harapan-harapan terbaiknya kepada
mereka, sebelum akhirnya secara mengerikan membunuh anak-anaknya.
Di
titik inilah, seorang perempuan melampaui dirinya sebagai seorang ‘ibu’.
Melalui tidankan itu, Medea menjejakan sebuah contoh apa artinya menjadi
perempuan dengan menanggalkan dan memutuskan semua sistem simbolik (the
Symbolic), termasuk simbol sebagai ibu. Melalui tindakan ini ia keluar dari
depresi. Seluruh dirinya adalah tindakannya. Setelah tindakan itu, semua
kata-kata adalah sia-sia.
Dalam
pandangan Lacan, Medea, pada situasi di mana ia sudah tidak lagi memiliki apa
pun untuk membela dirinya, menemukan senjata maut untuk mengalahkan Jason.
Senjata maut itu adalah dengan ‘memotong’ bagian paling berharga dari dirinya,
yakni anak-anaknya.
Pada
akhirnya, tindakan Medea merupakan tindakan menunda hukum, moral, tatanan
sosial dan mengingatkan saya pada pembelaan Arendt terhadap komandan Nazi,
Adolf Eichman, atau Paus Yohanes Paulus II yang memaafkan penembaknya, dan
Yesus Kristus yang menjanjikan firdaus bagi penyamun.
Arendt,
Paus, Medea, dan Yesus mengajarkan upaya melampaui serentak menunda the
Symbolic. Sebab hanya dengan berani katakan putus, Anda sedang berusaha
menjadi subjek yang otentik. Subjek yang tidak bergantung total pada tatanan
sosial-politik di luar diri.
Meskipun
seperti dialektika Hegel (tesis, antitesis, sintesis, antitesis, dan
seterusnya) di mana mengatakan putus pada yang satu mengantar Anda memasuki
tatanan the Symbolic yang lain, sekurang-kurangnya Anda telah belajar
melawan. Bukan soal Anda kalah atau menang melainkan belajar menemukan sesuatu
di dalam dirimu. Mengutip Lacan, ada sesuatu di dalam dirimu lebih dari sekadar
dirimu (something in you more than you).
“Kita
kalah, Ma,” kata tokoh Minke pada bagian akhir novel Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer. Namun, sesaat sebelum punggung kereta yang ditumpangi
Annelies menghilang, dengan nada berwibawa, Nyai Ontosoroh membalas, “Kita telah
melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Resistensi
serupa juga diucapkan oleh Sekretaris Negara AS, Ruth McMillan (diperankan oleh
Melissa Leo) dalam film Olympus Has Fallen (2013) yang disutradarai oleh
Antoine Fuqua. Usai disiksa oleh teroris bernama Kang, dengan nafas tersenggal,
Ruth mengatakan kepada Presiden AS, Benjamin Asher (diperankan oleh Aaron
Eckhart), “Kita mungkin menemui Pencipta kita hari ini. Tapi satu hal yang tak
kumau ada di batu nisanku: Dia mati tanpa perlawanan.”
Comments
Post a Comment