Skip to main content

Pandemi dan Buku-Buku Filsafat

Tiga buku tentang Marxisme karya Magnis Suseno (Gramedia)


Dalam postingan kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya tentang pentingnya filsafat dan bagaimana cara kerja filsafat terutama dalam menghadapi masa pandemi ini. 

Saya mengatakan demikian bukan berarti, tanpa pandemi, buku-buku filsafat tidaklah penting melainkan melalui teks-teks filsafat, saya dibantu untuk membaca fenomena pandemi secara lebih filosofis dan eksistensial. 

Lalu, apa implikasinya?

Jawaban paling sederhana yang dapat saya berikan adalah bahwa melalui buku-buku filsafat, saya diberikan kemungkinan untuk selalu merumuskan pertanyaan terus menerus terhadap segala sesuatu. Persis seperti adagium dari filsuf Nicholas Rescher yang mendaulat manusia sebagai homo quaerens atau inquiring human, makhluk yang senantiasa bertanya sepanjang hidupnya.

Saya punya sebuah ilustrasi tentang hal ini.
Jika Anda terbiasa melakukan riset atau pernah menulis karya ilmiah (skripsi/tesis/disertasi), Anda tentu menyadari betapa pentingnya riset questions dalam seluruh bangunan tulisan Anda. Di situlah, maksud saya. Berhasil tidaknya proses memformulasikan pengetahuan sangat bergantung dari sejauh mana Anda mampu merumuskan pertanyaan penelitian secara tepat.

Menyodorkan pertanyaan, bukan memberikan jawaban. Itulah inti dari filsafat!

Berikut ini saya berikan beberapa judul buku filsafat terbitan Gramedia yang saya baca ulang selama masa pandemi untuk membangkitkan kembali kebiasaan saya merumuskan pertanyaan, persis ketika di mana-mana, hampir semua institusi sosial politik cenderung berpretensi memberikan jawaban terhadap semua hal.

Pertama, buku berseri Karl Marx karya Franz Magnis Suseno. 


Buku Seri Pertama berjudul “Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme”. Buku Seri Kedua berjudul, “Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka". Buku Seri Ketiga berjudul, “Dari Mao ke Marcuse. Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin”.

Tiga buku ini membahas tentang Marx dari dua arah. Buku pertama menggambarkan pokok pikiran Marx pada umumnya, mulai dari latar belakang sosialisme purba dan kritik agama Feuerbach (bisa baca “Kemiskinan Filsafat”), alienasi, teori kelas hingga kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis. 

Buku kedua membahas tentang bagaimana gagasan Marx dipatenkan menjadi ideologi versi Lenin. 

Buku ketiga membahas tentang bagaimana gagasan Marx diterjemahkan oleh gerakan kiri baru yang muncul pada pertengahan tahun 60-an dan pada abad ke-20. Contoh terbaru ada di Hegemony and Socialist Strategy karya Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe.

Membaca ketiga buku ini dari perspektif geopolitik, akan membuat Anda bertanya-tanya tentang mekanisme kerja kuasa dan lanskap ekonomi politik seperti apa yang memungkinkan munculnya Perang Dunia I dan II, propaganda “War on Terrorism”, ekspansi kolonialistik, pembantaian massal 65/66, problem rasisme dan fundamentalisme agama, politik identitas, dan pandemi covid-19 hari ini.

1. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Cetakan Kesepuluh, Oktober 2016). 

Ini satu-satunya buku tentang Marx paling lengkap dalam bahasa Indonesia yang hadir persis di tengah masyarakat yang menganggap “marxisme” sebagai sebuah momok yang menakutkan. Runtuhnya Uni Soviet adalah preseden penting yang dapat digunakan pembaca untuk memahami mengapa marxisme dicintai sekaligus dibenci. 

Saya tidak perlu berbicara panjang lebar tentang bagaimana konflik internal dalam negeri yang memuncak dalam gerakan 30 September yang membuat komunisme, terutama PKI dan propaganda anti-komunisme terus digaungkan hingga saat ini. 

Fokus saya dalam buku ini adalah bahwa dengan mengenal gagasan Marx, Anda akan memahami bagaimana logika kelas bekerja dalam masyarakat saat ini, terutama ketika kita sedang menghadapi pandemi. Ketika di mana-mana, rezim global dan tentakelnya hingga ke level nasional, mengutak-atik kehidupan warga negara hingga ke ruang-ruang paling sublim dan rahasia.

Ini juga akan menjelaskan bahwa hadirnya pandemi, tanpa dipahami oleh banyak orang, merupakan preseden penting dari terjadinya krisis dalam sistem kapitalisme. Jika Marx meneliti kapitalisme industrial, saat ini, masyarakat kita beralih ke kapitalisme finansial. 

Dengan kata lain, seperti vampire, semakin dibunuh, semakin kuat kapitalisme menemukan cara untuk hidup kembali.

Jika demikian, gerakan sosial politik seperti apa yang kita butuhkan saat ini?


2. Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka (Cetakan Ketiga, Oktober 2016). 

Sebagai kelanjutan dari buku seri pertama, seri ini membahas tentang bagaimana dan mengapa komunisme menjadi salah satu kekuatan politik paling ditakuti selama tiga perempat abad. 

Bertolak dari keyakinan bahwa Marx telah memecahkan teka teki sejarah karena telah menemukan hukum-hukum perkembangan masyarakat, di tangan Vladimir Ilyic Lenin, marxisme menjadi sebuah kekuatan politik revolusioner yang signifikan. 

Itulah mengapa Lenin dibaptis menjadi bapak komunisme internasional dan dengan demikian menjadikan marxisme-leninisme sebagai dasarnya.

Jika Marx dianggap telah menemukan kontradiksi internal kapitalisme yang memungkinkan proletariat terpanggil untuk menciptakan masyarakat sosialis, di tangan Lenin-lah strategi dan taktik mencapai ideal itu dirumuskan. 

Mengutip Suseno, 

Marx memang memikirkan kondisi-kondisi penghancuran kapitalisme dalam revolusi sosialis, tetapi Leninlah yang menjadikan bagaimana revolusi itu harus dipersiapkan 

(halaman 1).

Muncul soal baru. Lenin yang sakit-sakitan akhirnya meninggal dan tampuk kekuasaan diganti oleh Stalin. Sejak saat itu, komunisme menjadi sinonim bagi kediktatoran totaliter, sebagai sistem penindasan, kekejaman, dan pertumpahan darah tanpa tanding (halaman 224-225).

Sampai di situ, Suseno membuat pertanyaan menarik yang jawabannya diserahkan kepada pembaca: 

Bagaimana hal itu bisa terjadi? 

Bagaimana idealisme pembebesan revolusioner Lenin dan Trotsy yang bagi pemikir-pemikir cerdas dan bebas pamrih seperti Lukacs, Korsch, Gramsci, dan Tan Malaka menjadi harapan paling signifikan dalam sejarah umat manusia, dapat bermuara dalam kenyataan historis komunisme sebagai salah satu sistem kekuatan penindas yang paling jahat sepanjang sejarah? (halaman 226).

Seperti ditegaskan Suseno dalam pengantar bukunya, saya kira demikian juga hendaknya tidak sedikit masyarakat Indonesia perlu membaca dan mengenal sebuah ideologi sebelum ideologi itu ditolak atau tidak disukai.

Melalui buku ini, kita dapat merumuskan pertanyaan lanjutan tentang situasi yang sedang kita hadapi saat ini. 
Bagaimana mekanisme dan cara komunisme dalam membentuk tatanan global dan bagaimana pandemi ini melakukan hal yang sama melalui agenda “great reset” di World Economic Forum, Davos?

Apakah kita, seperti Engels dalam Manifesto Komunis, masih tetap berada dalam bayang-bayang Marx ataukah komunisme versi Lenin dalam postur yang lebih halus dan licin?

3. Dari Mao ke Marcuse. Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin (Cetakan Pertama, 2013). 



Buku ini merupakan buku ketiga dan seri terakhir yang berupaya memperkenalkan gagasan Marx paska Lenin dan bagaimana Marxisme dielaborasi lebih lanjut hingga hari ini.

Lalu apa hubungannya dengan Mao dan Marcuse?

Dalam buku ini, Suseno berargumen bahwa seperti Lenin, Mao Zedong merupakan seorang revolusioner praktis, yang mencoba membawa marxisme dalam rangka menunjang revolusi di Tiongkok. 

Demikian pula Marcuse, idola gerakan kiri baru, bersama Mazhab Frankfurt coba membawa marxisme sebagai alat kritik. Alih-alih mematenkan Marxisme sebagai ideologi seperti Mao, generasi “teori kritis” ini berupaya menjadikan marxisme sebagai senjata kritik diskriminasi dan ketimpangan kelas dalam masyarakat modern yang menghamba pada ‘rasio instrumental’. 

One Dimensional Man karya Marcuse menggambarkan hal ini secara begitu bagus. Anda bisa menemukan itu di mana-mana, ketika manusia diciptakan mirip robot yang sama sekali tidak punya imajinasi. Manusia jenis ini adalah makhluk yang patuh pada titah dan menghamba pada tatanan tanpa ada upaya berpikir secara kritis dan menawarkan alternatif rumusan masalah baru.

Persis di situ, mengutip Pram, sesudah Soekarno hingga hari ini, kita tidak mempunyai pemimpin.



Buku ini menggambarkan secara gamblang kemacetan strategi mengatasi soal yang dicanangkan oleh Mazhab Frankfurt (saya kira, generasi terakhir, Habermas juga mengalami hal serupa melalui anjurannya tentang rasionalitas komunikatif untuk mengatasi krisis pada modernitas). 

Bagaimana mungkin orang bisa mencapai konsensus jika ada prasyarat utama dalam komunikasi yakni punya rasionalitas yang sama?

Dalam edisi baru ini, Sindhunata menambahkan beberapa perspektif untuk menganalisis problem masyarakat kita dewasa ini. Problem seperti preferensi politik yang membelah masyarakat ke dalam dikotomi-dikotomi biner, dari radikalisme agama hingga populisme dan politik identitas merupakan salah satu diantara begitu banyak ilustrasi yang dapat Anda temukan.

Melalui buku ini, Anda akan menemukan paradoks modernitas sebagai sebuah upaya memberikan manusia kekuasaan untuk mengubah dunia, yang pada akhirnya mengubah diri manusia itu sendiri.

Seperti yang dijelaskan Sindhunata, pada akhirnya, projek teori kritis ini gagal sebagai, mengutip Gramsci, sebuah gerakan politik yang organik. Limitasi ini bisa Anda baca melalui karya postrukturalis dan psikoanalis seperti Michel Foucault, Negri dan Hardt, Slavoj Zizek, dan Jacques Lacan.

Akhirnya, mulai dari problem terorisme hingga pandemi korona, bagaimanapun juga, kita tetap membutuhkan filsafat untuk memandu kita dalam merumuskan pertanyaan tentang siapa kita, bagaimana kita hidup, dan prinsip kemanusiaan seperti apa yang mesti kita perbaharui terus menerus.

Selamat membaca sebab membaca adalah sebuah proses di mana Anda tergelincir secara sadar ke dalam pikiran, perasaan, dan kegelisahan-kegelisahan orang lain. 
Bukankah itu indah?

Comments