Upaya Mengembalikan Kata kepada Mantera
“daging kita satu arwah kita satu
Walau masing-masing jauh
Yang tertusuk padamu berdarah padaku”
(Sutardji Calzoum Bachri, fragmen akhir sajak
Satu)
Apa itu Credo Puisi?
Istilah “Credo Puisi” pertama kali
diproklamirkan oleh Sutardji Calzoum Bachri (SCB)[1]
pada pertemuan fenomenal yang digelar oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM)
pada tanggal 30 Maret 1973.
Saya mengutip secara lengkap credo termasud guna memudahkan
pemahaman dalam analisis sebagai berikut:
Kata-kata bukanlah alat menghantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong dan menikam.
Dalam keseharian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menghantarkan pengertian. Dia dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.
Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya.
Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya yang kreatif.
Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatakan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri
Untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan padanya.
Sebagai penyair saya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksen tuasi yang maksimal
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Kata-kata bukanlah alat menghantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong dan menikam.
Dalam keseharian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menghantarkan pengertian. Dia dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.
Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya.
Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya yang kreatif.
Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatakan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri
Untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan padanya.
Sebagai penyair saya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksen tuasi yang maksimal
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973
(O, Amuk, Kapak, 1981: 13-14).
Postmodernisme dan Fragmentarisme dalam Sastra
Patut diketahui bahwa postmodernisme dalam
filsafat memang sudah dikenal secara umum di Indonesia. Namun dalam bidang
kajian sastra, menurut beberapa kritikus sastra, postmodernisme baru dikenal
terutama melalui karya-karya Sutardji (puisi) dan Ayu Utami (novel).
Sebenarnya ada empat tempat dan waktu kelahiran pengertian postmodernisme dalam sastra antara lain:
Pertama, terjadi pada tahun 1870, saat John Watkins Chapmann, seorang pelukis berkebangsaan Inggris, memulai sebuah gaya pelukisan postmodern.
Chapmann berupaya melawan dominasi gaya pelukisan yang populer saat itu yakni impresionisme Prancis. Kenyataan, kelahiran pertama ini tidak mendapat sambutan sejarah.
Sebenarnya ada empat tempat dan waktu kelahiran pengertian postmodernisme dalam sastra antara lain:
Pertama, terjadi pada tahun 1870, saat John Watkins Chapmann, seorang pelukis berkebangsaan Inggris, memulai sebuah gaya pelukisan postmodern.
Chapmann berupaya melawan dominasi gaya pelukisan yang populer saat itu yakni impresionisme Prancis. Kenyataan, kelahiran pertama ini tidak mendapat sambutan sejarah.
Kedua, pengertian ini, sebagai kata sifat,
muncul pada tahun 1917 oleh Rudolf Pannwitz. Dalam bukunya Krisis Kebudayaan
Eropa dia berbicara tentang manusia postmodern.
Latar belakangnya, Pannwitz melukiskan dekadensi kebudayaan Eropa yang dipilari oleh manusia-manusia yang memiliki banyak kelemahan. Gaya pelukisannya mencontohi gaya Nietzsche.
Latar belakangnya, Pannwitz melukiskan dekadensi kebudayaan Eropa yang dipilari oleh manusia-manusia yang memiliki banyak kelemahan. Gaya pelukisannya mencontohi gaya Nietzsche.
Demikian pula terapi yang ditawarkannya pun bergaya Nietzschean: maka manusia
postmoderen ini tidak lain adalah manusia super (Ubermensch).
Menarik di sini untuk perkembangan selanjutnya adalah bahwa sudah di sini Nietzsche dilihat sebagai bapa dari kritik terhadap modernitas.
Menarik di sini untuk perkembangan selanjutnya adalah bahwa sudah di sini Nietzsche dilihat sebagai bapa dari kritik terhadap modernitas.
Ketiga, pada tahun 1934, pengertian ini
digunakan lagi oleh Federico de Onis, seorang ilmuwan sastra berkebangsaan
Spanyol. Dia menggunakan pengertian postmodernismo untuk menunjukkan satu
periode singkat dalam sejarah sastra Spanyol, yakni antara tahun 1905 sampai
1914.
Yang menjadi ciri khas era postmodernisme menurut de Onis adalah mengalirnya kembali yang konservatif dalam modernisme.
Yang menjadi ciri khas era postmodernisme menurut de Onis adalah mengalirnya kembali yang konservatif dalam modernisme.
Selanjutnya, kelahiran keempat terjadi pada tahun 1947
dalam bukunya A Study of History Jilid VIII karya Arnold Toynbee.
Postmodernisme adalah fase terkini dari sejarah peradaban Eropa, yang dimulai
pada tahun 1875 sebagai awal dari peralihan dari sebuah politik yang terpusat
pada kebangsaan kepada pemikiran politis yang berorientasi pada interaksi
internasional.
Dengan kata lain, era postmodern adalah era postkolonialisme, yang ditandai oleh kelahiran para intelektual di luar dunia barat yang kemudian menentang barat.
Kelahiran ini kemudian diambilalih oleh Irving Howe pada tahun 1959 dalam artikelnya berjudul "Mass Society and Post-Modern Fiction" (download di sini) dalam Partisan Review, untuk sebuah penggunaan dalam bidang sastra, dengan pengertian yang sangat lain.
Dengan ini postmodernisme sebagai pengertian mulai banyak dikenal dan menyulut diskusi yang panjang, karena dia mengkapkan isi tertentu yang menjadi pengalaman banyak orang.
Sastra pada periode ini adalah hasil karya sebuah masyarakat yang sudah menjadi massa. Oleh karena itu, sastra postmodernisme bukanlah sebuah dekadensi yang mesti ditolak, melainkan sebuah gaya yang inovatif. Asosiasi negatif dan pesismistis mulai ditinggalkan.
Di dalam dunia yang semakin bebas seperti itu, sastra yang dihasilkan pun mestinya berbeda. Hal ini bukanlah sebuah dekadensi sebab nilai sastra postmodern terletak dalam kesanggupan mereka untuk menjadi penghubung antara yang elite dan massa.
Sastra modern memang cenderung bersifat eliter, sastra untuk kelas masyarakat tertentu, masyarakat terdidik dan berpenghasilan, sastra dengan asosiasi kelas menengah, dengan standar moralitas tertentu. Bahasa dan kodeks moral yang dipakai sebagai orientasi adalah bahasa dan kodeks moral para intelektual yang dibakukan secara ketat.
Berbeda dengan ini, sastra post-modern adalah sastra untuk orang kebanyakan juga, yakni sastra yang berbicara dalam bahasa mereka, yang menggunakan katalog nilai mereka. Kalau sastra modern berbicara tentang seks dalam bahasa yang sangat sopan dan cenderung membungkus maka sastra postmodern berbicara terang-terangan tentang seks (dalam konteks Indonesia, bandingkan novel Saman karya Ayu Utami).
Gaya sastra ini akan melintasi kelas-kelas masyarakat dan mencampuradukkan berbagai aliran sastra, meninggalkan kesungguhan dan ironi modernisme. Di dalam gaya sastra ini kita menemukan kembali hidupnya dunia yang irasional, yang ditempatkan di samping pengetahuan tentang teknologi yang tinggi. Di mana ada pluralitas gaya di dalam satu karya, di sana orang berbicara tentang post-modernisme.
Dengan kata lain, era postmodern adalah era postkolonialisme, yang ditandai oleh kelahiran para intelektual di luar dunia barat yang kemudian menentang barat.
Kelahiran ini kemudian diambilalih oleh Irving Howe pada tahun 1959 dalam artikelnya berjudul "Mass Society and Post-Modern Fiction" (download di sini) dalam Partisan Review, untuk sebuah penggunaan dalam bidang sastra, dengan pengertian yang sangat lain.
Dengan ini postmodernisme sebagai pengertian mulai banyak dikenal dan menyulut diskusi yang panjang, karena dia mengkapkan isi tertentu yang menjadi pengalaman banyak orang.
Sastra pada periode ini adalah hasil karya sebuah masyarakat yang sudah menjadi massa. Oleh karena itu, sastra postmodernisme bukanlah sebuah dekadensi yang mesti ditolak, melainkan sebuah gaya yang inovatif. Asosiasi negatif dan pesismistis mulai ditinggalkan.
Di dalam dunia yang semakin bebas seperti itu, sastra yang dihasilkan pun mestinya berbeda. Hal ini bukanlah sebuah dekadensi sebab nilai sastra postmodern terletak dalam kesanggupan mereka untuk menjadi penghubung antara yang elite dan massa.
Sastra modern memang cenderung bersifat eliter, sastra untuk kelas masyarakat tertentu, masyarakat terdidik dan berpenghasilan, sastra dengan asosiasi kelas menengah, dengan standar moralitas tertentu. Bahasa dan kodeks moral yang dipakai sebagai orientasi adalah bahasa dan kodeks moral para intelektual yang dibakukan secara ketat.
Berbeda dengan ini, sastra post-modern adalah sastra untuk orang kebanyakan juga, yakni sastra yang berbicara dalam bahasa mereka, yang menggunakan katalog nilai mereka. Kalau sastra modern berbicara tentang seks dalam bahasa yang sangat sopan dan cenderung membungkus maka sastra postmodern berbicara terang-terangan tentang seks (dalam konteks Indonesia, bandingkan novel Saman karya Ayu Utami).
Gaya sastra ini akan melintasi kelas-kelas masyarakat dan mencampuradukkan berbagai aliran sastra, meninggalkan kesungguhan dan ironi modernisme. Di dalam gaya sastra ini kita menemukan kembali hidupnya dunia yang irasional, yang ditempatkan di samping pengetahuan tentang teknologi yang tinggi. Di mana ada pluralitas gaya di dalam satu karya, di sana orang berbicara tentang post-modernisme.
Pengaruh Friedrich Nietzsche
Bagaimanapun tidak mungkin berbicara tentang
posmodernisme baik dalam diskursus disiplin ilmu filsafat dan sosial-humaniora
maupun kesusastraan, tanpa melibatkan Friedrich Nietzsche.
Lebih khusus lagi, mustahil membayangkan kesusastraan Jerman tanpa menyimak besarnya andil Friedrich Nietzsche di dalamnya terutama berkaitan dengan kritikannya terhadap sistematisasi dalam karya sastra waktu itu.
Lebih khusus lagi, mustahil membayangkan kesusastraan Jerman tanpa menyimak besarnya andil Friedrich Nietzsche di dalamnya terutama berkaitan dengan kritikannya terhadap sistematisasi dalam karya sastra waktu itu.
Dengan memproklamirkan bahwa “Allah
telah mati, kitalah yang membunuhnya”[2],
Nietzsche berupaya melawan tatanan yang absolut waktu itu yakni kekuasaan
gereja.
Dalam suratnya kepada Franz Overbeck, rekannya, Nietzsche mengatakan bahwa satu hal yang paling berbeda dari Zarathustra adalah pandangannya tentang kekristenan; sejak Voltaire belum pernah ada lagi kritik yang sedemikian tajam terhadap kekristenan.[3]
Bahkan, Paul Ricoeur menyebut Nietzsche sebagai jembatan yang menghubungkan agama dengan iman yang baru.[4] Itu berarti pemikiran Nietzsche hendaknya menjadi penggerak bagi manusia beragama terhadap proses penghayatan imannya.
Bersikap kritis terhadap iman berarti juga bersikap kritis terhadap setiap tantangan yang menguji kualitas iman itu. Apalagi, kenyataan gereja sekular, oleh karena perkembangan kebudayaan global dan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, semakin lama semakin menjerumuskan manusia pada sekularisme buta.
Nietzsche sebenarnya mengajak manusia—melalui agama dan segala elemennya yang telah dimurnikan oleh sekularisasi—untuk mengalami kehadiran Allah secara benar tanpa harus kehilangan hakikat diri, orientasi, dan dasar hidupnya sendiri.
Meskipun demikian, sekurang-kurangnya bagi saya, tidak mudah memahami gagasan Nietzsche yang umumnya ditulis dengan gaya aforisme. Memang, tidak sulit membaca aforisme-aforisme itu, sebab berupa kalimat-kalimat pendek yang mudah dibaca secara harafiah. Yang sulit adalah bagaimana caranya untuk mengerti arti atau maksud dari kalimat-kalimat itu.
Hal yang sama saya temukan dalam diri penyair “Presiden” Licentia Poetica, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) di Indonesia yang mengikuti gaya penulisan mirip Nietzsche ketika hampir semua puisinya terdiri atas gugusan kata-kata tanpa mengikuti ejaan, rima, struktur bahasa, dan sistem fonetik yang berlaku umum (Ejaan Yang Disempurnakan).
Sebagaimana proyek Sutardjian yang berupaya membebaskan kata dari beban makna konvensional, bagi Nietzsche, mustahil jika kebenaran dapat dikemas dalam satu sistem, karena dengan demikian ia memperbodoh dirinya sendiri.[5] Kebenaran yang tersistematisasi justru mengerdilkan kreativitas manusia untuk mencipta, megusahakan suatu bentuk hidup yang lebih human.
Menyitir Seno Gumira Ajidarma, “Harmonis itu ternyata tidak terlalu baik, karena untuk menjadi harmonis mustahil tiada kelompok yang ideologinya tidak tertindas”.[6] Dengan alasan demikian, bukan berarti seorang sastrawan menggiring pembaca pada kebuntuan atas sebuah jawaban final tentang persoalan tertentu.
Sebaliknya, pembaca diberi kemungkinan untuk mencari, mengoyak asumsi-asumsi tersembunyi, dan merumuskan jawabannya sendiri berdasarkan ketajaman analisis, dan pembacaan yang tepat terhadap konteks di mana ia berada.
Untuk itulah, sangat menarik ketika Nietzsche menganjurkan konsep Ubermensch sebagai “seniman-filsuf” sebagai lawan dari keinginan Plato untuk mewujudkan “raja-filsuf” dalam dialog Republik.[7].
“Matinya Allah” yang diproklamirkan Nietzsche, otomatis memunculkan faktum pluralitas di mana tidak ada lagi kebenaran tunggal yang absolut dan dijadikan rujukan bersama. Itulah zaman di mana proyek Nietzschean yang disebut sebagai “nihilisme” merupakan prasyarat utama munculnya “ubermensch”.
Dalam suratnya kepada Franz Overbeck, rekannya, Nietzsche mengatakan bahwa satu hal yang paling berbeda dari Zarathustra adalah pandangannya tentang kekristenan; sejak Voltaire belum pernah ada lagi kritik yang sedemikian tajam terhadap kekristenan.[3]
Bahkan, Paul Ricoeur menyebut Nietzsche sebagai jembatan yang menghubungkan agama dengan iman yang baru.[4] Itu berarti pemikiran Nietzsche hendaknya menjadi penggerak bagi manusia beragama terhadap proses penghayatan imannya.
Bersikap kritis terhadap iman berarti juga bersikap kritis terhadap setiap tantangan yang menguji kualitas iman itu. Apalagi, kenyataan gereja sekular, oleh karena perkembangan kebudayaan global dan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, semakin lama semakin menjerumuskan manusia pada sekularisme buta.
Nietzsche sebenarnya mengajak manusia—melalui agama dan segala elemennya yang telah dimurnikan oleh sekularisasi—untuk mengalami kehadiran Allah secara benar tanpa harus kehilangan hakikat diri, orientasi, dan dasar hidupnya sendiri.
Meskipun demikian, sekurang-kurangnya bagi saya, tidak mudah memahami gagasan Nietzsche yang umumnya ditulis dengan gaya aforisme. Memang, tidak sulit membaca aforisme-aforisme itu, sebab berupa kalimat-kalimat pendek yang mudah dibaca secara harafiah. Yang sulit adalah bagaimana caranya untuk mengerti arti atau maksud dari kalimat-kalimat itu.
Hal yang sama saya temukan dalam diri penyair “Presiden” Licentia Poetica, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) di Indonesia yang mengikuti gaya penulisan mirip Nietzsche ketika hampir semua puisinya terdiri atas gugusan kata-kata tanpa mengikuti ejaan, rima, struktur bahasa, dan sistem fonetik yang berlaku umum (Ejaan Yang Disempurnakan).
Sebagaimana proyek Sutardjian yang berupaya membebaskan kata dari beban makna konvensional, bagi Nietzsche, mustahil jika kebenaran dapat dikemas dalam satu sistem, karena dengan demikian ia memperbodoh dirinya sendiri.[5] Kebenaran yang tersistematisasi justru mengerdilkan kreativitas manusia untuk mencipta, megusahakan suatu bentuk hidup yang lebih human.
Menyitir Seno Gumira Ajidarma, “Harmonis itu ternyata tidak terlalu baik, karena untuk menjadi harmonis mustahil tiada kelompok yang ideologinya tidak tertindas”.[6] Dengan alasan demikian, bukan berarti seorang sastrawan menggiring pembaca pada kebuntuan atas sebuah jawaban final tentang persoalan tertentu.
Sebaliknya, pembaca diberi kemungkinan untuk mencari, mengoyak asumsi-asumsi tersembunyi, dan merumuskan jawabannya sendiri berdasarkan ketajaman analisis, dan pembacaan yang tepat terhadap konteks di mana ia berada.
Untuk itulah, sangat menarik ketika Nietzsche menganjurkan konsep Ubermensch sebagai “seniman-filsuf” sebagai lawan dari keinginan Plato untuk mewujudkan “raja-filsuf” dalam dialog Republik.[7].
“Matinya Allah” yang diproklamirkan Nietzsche, otomatis memunculkan faktum pluralitas di mana tidak ada lagi kebenaran tunggal yang absolut dan dijadikan rujukan bersama. Itulah zaman di mana proyek Nietzschean yang disebut sebagai “nihilisme” merupakan prasyarat utama munculnya “ubermensch”.
Meskipun demikian, nihilisme yang dimaksudkan oleh
Nietzsche merupakan sejenis nihilisme aktif. Hal ini berbanding terbalik dengan gaya nihilisme
Baudrillard yang cenderung tanpa gairah, tanpa keriangan, tanpa optimisme,
tanpa harapan akan masa depan yang lebih baik.[8]
Nihilisme Baudrillard adalah fatalisme, dengan sifat melankolis sebagai karakter dasarnya. Karakter fatalis dan nihilis, pada gilirannya, adalah sebuah pilihan sadar yang diambil Baudrillard.
Nihilisme Baudrillard adalah fatalisme, dengan sifat melankolis sebagai karakter dasarnya. Karakter fatalis dan nihilis, pada gilirannya, adalah sebuah pilihan sadar yang diambil Baudrillard.
Dalam esainya, On Nihilism (1981), yang
pertama kali ditulis sebagai bahan kuliah, Baudrillard menegaskan sikap fatalis
dan nihilisnya demikian:
Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap sikap ketakberdayaan dan analisa sistem yang tak ada jalan kembalinya, maka saya adalah seorang nihilis. Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang yang terobsesi dengan cara-cara pelenyapan dan tidak lagi dengan cara-cara produksi, maka saya adalah seorang nihilis.[9]
Berbanding terbalik dengan Baudrillard,
Nietzsche menawarkan formula nihilisme yang lebih aktif. Dalam karyanya Jenseits
vom Guten und Bösen, tentang dua jenis moralitas manusia yakni moralitas tuan
dan moralitas budak,[10]
diceritakan bahwa suatu ketika, ada dua jenis manusia yaitu kasta aristokrat
atau para tuan dan rakyat kecil atau kasta para budak.
Dari dua jenis kasta ini, menurutnya, lahirlah dua macam moralitas: moralitas tuan (herrenmoral) dan moralitas kaum budak atau kawanan (herdenmoral).
Bagi para tuan itu, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Mereka sungguh yakin, bahwa segala tindakannya adalah baik. Meski demikian, mereka tidak mengklaim, bahwa moralitasnya universal.
Moralitas tuan itu tidak menunjukkan bagaimana seharusnya orang bertindak, melainkan bagaimana tuan itu nyatanya bertindak. Jadi, dari tindakan-tindakannya sendiri lahir nilai-nilai autentik.
Berbeda dengan manusia tuan, para budak tidak pernah bertindak dari diri mereka sendiri, sebab tergantung pada perintah tuannya. Bertindak sendiri justru akan menyangkal kodratnya.
Yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati, kelemahlembutan, kerendahan hati dalam hubungannya dengan kasta rendah mereka.
Karena itu, kaum budak memandang individu yang independen, unggul, kuat dan jenius sebagai orang yang berbahaya dan jahat untuk kelompoknya. Di sini sebenarnya, apa saja yang dinilai baik oleh tuannya dinilai buruk oleh budak.
Moralitas budak ini bersifat relatif, yakni bersumber dari ketakutan pada tuannya, lalu mencoba menguasai tuannya, tidak dalam kenyataan, melainkan dalam dunia fiktif nilai-nilai dengan menilainya sebagai ‘jahat’ (böse).
Karena alasan inilah, Nietzsche memperkenalkan istilah “Ressentiment”, yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara oleh kaum budak.
Suatu ketika, demikian Nietzsche, ressentiment menjadi kekuatan yang luar biasa untuk meledakkan pemberontakan-pemberontakan di kalangan kaum budak terhadap kasta para tuan. Ressentimen menjungkirbalikan penilaian baik dan buruk dari moralitas tuan.
Tindakan tersebut hanya akan mungkin jika terjadi penjungkirbalikan nilai-nilai yang sebelumnya dianggap oleh kaum budak sebagai nilai yang mapan. Pada masa itulah, bukan lagi narasi besar seperti kebenaran, ada dan metafisika, melainkan narasi kecil seperti kearifan lokal yang perlahan mulai dieksplorasi.
Dalam konteks kesusastraan, era “matinya Allah” tersebut membuat segala sesuatu terpenggal-penggal. Sulit bagi seorang pengarang mendominasi wacana publik karena dengan kemajuan teknologi virtual seperti televisi dan internet, perhatian publik terpecah belah.
Dengan kata lain, banyak sosok pendatang baru dalam dunia kepenyairan yang muncul dan surut dengan cepat tanpa pernah sempat meraih tempat yang layak di antara jajaran para penyair yang sudah malang-melintang terlebih dahulu.
Alasannya sederhana: semua informasi yang datang bercampur-baur, tumpang-tindih, saling menggasak, dan silang-menyilang. Selain itu, hilangnya ruang kritis pembaca menjadikan masyarakat tidak lain sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang bungkam.
Persis dalam konteks itulah, sesuatu dikatakan menarik jika dikemas dalam bungkusan yang menarik dan prestisius. Sebuah karya sastra seperti novel, komik, puisi, cerpen, seni rupa, seni performa dan apa pun bentuknya yang tidak membuat kening berkerut akan dengan mudah menyentuh publik.
Bertolak dari penjelasan di atas, apakah dengan mengatakan bahwa puisi-puisi Sutardji sebagai contoh puisi postmodern berarti bahwa puisi tersebut tidak punya nilai substansial dan hanya mengandalkan permainan gaya yang prestisius semata?
Dalam artikel ini, saya akan menunjukkan apa saja muatan postmodernisme yang terkandung dalam puisi-puisi Sutardji khususnya berkaitan dengan credonya sebagai sebuah upaya membebaskan kata dari makna.
Dari dua jenis kasta ini, menurutnya, lahirlah dua macam moralitas: moralitas tuan (herrenmoral) dan moralitas kaum budak atau kawanan (herdenmoral).
Bagi para tuan itu, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Mereka sungguh yakin, bahwa segala tindakannya adalah baik. Meski demikian, mereka tidak mengklaim, bahwa moralitasnya universal.
Moralitas tuan itu tidak menunjukkan bagaimana seharusnya orang bertindak, melainkan bagaimana tuan itu nyatanya bertindak. Jadi, dari tindakan-tindakannya sendiri lahir nilai-nilai autentik.
Berbeda dengan manusia tuan, para budak tidak pernah bertindak dari diri mereka sendiri, sebab tergantung pada perintah tuannya. Bertindak sendiri justru akan menyangkal kodratnya.
Yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati, kelemahlembutan, kerendahan hati dalam hubungannya dengan kasta rendah mereka.
Karena itu, kaum budak memandang individu yang independen, unggul, kuat dan jenius sebagai orang yang berbahaya dan jahat untuk kelompoknya. Di sini sebenarnya, apa saja yang dinilai baik oleh tuannya dinilai buruk oleh budak.
Moralitas budak ini bersifat relatif, yakni bersumber dari ketakutan pada tuannya, lalu mencoba menguasai tuannya, tidak dalam kenyataan, melainkan dalam dunia fiktif nilai-nilai dengan menilainya sebagai ‘jahat’ (böse).
Karena alasan inilah, Nietzsche memperkenalkan istilah “Ressentiment”, yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara oleh kaum budak.
Suatu ketika, demikian Nietzsche, ressentiment menjadi kekuatan yang luar biasa untuk meledakkan pemberontakan-pemberontakan di kalangan kaum budak terhadap kasta para tuan. Ressentimen menjungkirbalikan penilaian baik dan buruk dari moralitas tuan.
Tindakan tersebut hanya akan mungkin jika terjadi penjungkirbalikan nilai-nilai yang sebelumnya dianggap oleh kaum budak sebagai nilai yang mapan. Pada masa itulah, bukan lagi narasi besar seperti kebenaran, ada dan metafisika, melainkan narasi kecil seperti kearifan lokal yang perlahan mulai dieksplorasi.
Dalam konteks kesusastraan, era “matinya Allah” tersebut membuat segala sesuatu terpenggal-penggal. Sulit bagi seorang pengarang mendominasi wacana publik karena dengan kemajuan teknologi virtual seperti televisi dan internet, perhatian publik terpecah belah.
Dengan kata lain, banyak sosok pendatang baru dalam dunia kepenyairan yang muncul dan surut dengan cepat tanpa pernah sempat meraih tempat yang layak di antara jajaran para penyair yang sudah malang-melintang terlebih dahulu.
Alasannya sederhana: semua informasi yang datang bercampur-baur, tumpang-tindih, saling menggasak, dan silang-menyilang. Selain itu, hilangnya ruang kritis pembaca menjadikan masyarakat tidak lain sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang bungkam.
Persis dalam konteks itulah, sesuatu dikatakan menarik jika dikemas dalam bungkusan yang menarik dan prestisius. Sebuah karya sastra seperti novel, komik, puisi, cerpen, seni rupa, seni performa dan apa pun bentuknya yang tidak membuat kening berkerut akan dengan mudah menyentuh publik.
Bertolak dari penjelasan di atas, apakah dengan mengatakan bahwa puisi-puisi Sutardji sebagai contoh puisi postmodern berarti bahwa puisi tersebut tidak punya nilai substansial dan hanya mengandalkan permainan gaya yang prestisius semata?
Dalam artikel ini, saya akan menunjukkan apa saja muatan postmodernisme yang terkandung dalam puisi-puisi Sutardji khususnya berkaitan dengan credonya sebagai sebuah upaya membebaskan kata dari makna.
Bahasa dan Kekuasaan
Kritik atas bahasa (baca: kekuasaan
struktural) juga merupakan penghakiman lanjut terhadap komposisi, diskursus,
dan idologi tertentu[11]
yang tersirat dalam sebuah puisi. Meskipun demikian, bahasa tidak pernah
terlepas dari pengaruh politik dan kekuasaan.[12]
Rekayasanya terhadap bahasa, telah mereduksi makna bahasa menjadi kian kabur
dan sempit ruang lingkupnya. Bahasa, demikian Jurgen Habermas, diciptakan dan
pentradisiannya didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu, [13]
sangatlah tepat.
Pengaruh yang paling jelas nampak yakni ketika eufemisme dan
akronim bombastis serta retorika amburadul para elite politik telah menjadi
sebuah budaya baru.
Bahasa yang fungsinya untuk memahami, berpikir, dan bertindak,[14] dideterminasi untuk melanggengkan suatu kemapanan politik dan kekuasaan yang terkoordinasi.
Dengan kata lain, dewasa ini, masalah bahasa telah menggantikan masalah tradisional mengenai kesadaran; kritik trasendental atas bahasa menggantikan kritik trasendental atas kesadaran.[15]
Bahasa yang fungsinya untuk memahami, berpikir, dan bertindak,[14] dideterminasi untuk melanggengkan suatu kemapanan politik dan kekuasaan yang terkoordinasi.
Dengan kata lain, dewasa ini, masalah bahasa telah menggantikan masalah tradisional mengenai kesadaran; kritik trasendental atas bahasa menggantikan kritik trasendental atas kesadaran.[15]
Karena karya sastra mengandaikan adanya bahasa
dan bahasa mengandung kekuasaan maka orang perlu membongkar rezim kuasa dalam
bentuk ideologi yang bersembunyi di balik bahasa yang dipakai pada karya sastra
tertentu.
Sapardji djoko Damono mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka
ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dilakukan Wolf dalam Hermeneutic
Philosophy Irony and the Sociology of Art yakni sosiologi yang mempermasalahkan
status sosial serta ideologi sebagai penghasil karya sastra, sosiologi karya
sastra yang mempermasalahkan karya sastra sendiri, dan sosiologi sastra yang
mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra[16].
Keprihatinan sosial yang memuncak dalam kritik berbagai sastrawan dan budayawan
kontemporer terhadap Balai Pustaka dan juga lambaga-lembaga yang dimeterai
sebagai pemegang sah pemberi kriteria berkualitas tidaknya sebuah karya sastra
merupakan contoh yang menarik untuk disimak.
Sebut saja Badan Sensor Film (BSF)
maupun Departemen Penerangan (Deppen) yang melarang beredarnya film-film
tertentu atas nama stabilitas politik sebagai misal Matahari-matahari karya
sutradara Arifin C. Noer karena dianggap berbau komunis.
Juga Bung Kecil garapan Sophan Sophian yang dinilai bermuatan kritik aliran keras. Film lain yang dicekal BSF yakni Ponirah Terpidana karya Slamet Rahardjo Djarot dengan alibi salah satu aktornya yakni Bambang Hermanto mendapat stigma ‘kiri’[17].
Juga Bung Kecil garapan Sophan Sophian yang dinilai bermuatan kritik aliran keras. Film lain yang dicekal BSF yakni Ponirah Terpidana karya Slamet Rahardjo Djarot dengan alibi salah satu aktornya yakni Bambang Hermanto mendapat stigma ‘kiri’[17].
Di tengah kisruh tersebut, tesis dasar SCB untuk membebaskan kata-kata dari
beban pengertian menjadi urgen:
Kata-kata harus bebas dari penjajahan
pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
Jika demikian, bagaimana caranya membebaskan
kata-kata dari beban pengertian seperti itu?
Untuk menjawabi pertanyaan
tersebut, penting untuk mengetahui eksplorasi linguistik yang diperkenalkan
oleh Ferdinand de Saussure dalam filsafat bahasanya ketika ia meninjau tentang
struktur yang membentuk sistem bahasa.
Berbanding terbalik dengan metode Cartesian
yang lebih memprioritaskan subjektivitas dan mengabaikan segala aspek di luar
dari itu, Saussure berkonsentrasi pada struktur sehingga teorinya digolongkan ke
dalam strukturalisme yang berupaya mengungkap struktur berbagai aspek penalaran
dan tingkah laku manusia, khususnya bahasa.
Lebih jauh lagi, strukturalisme
mengkhususkan perhatiannya pada kompleksitas keterkaitan unsur-unsur tersebut
dan bukan pada pertanyaan tentang perubahan.
Dengan demikian, Saussure melihat bahwa terdapat sifat arbitrary dari tanda dalam bahasa di samping adanya masalah pembedaan (difference).[18] Itu berarti suatu tanda menjadi bermakna karena tanda-tanda lain tidak mempunyai makna serupa.
Dengan demikian, Saussure melihat bahwa terdapat sifat arbitrary dari tanda dalam bahasa di samping adanya masalah pembedaan (difference).[18] Itu berarti suatu tanda menjadi bermakna karena tanda-tanda lain tidak mempunyai makna serupa.
Berhadapan dengan konsep di atas, terdapat
aneka kritik khususnya dari kaum post-strukturalis.
Pertama, Jacques Derrrida.
Derrida mengklaim bahwa kecenderungan Saussure dalam konsep bahasanya untuk
bergantung pada referensi dan makna, merupakan sesuatu yang sifatnya dogmatis
dan tidak kreatif. Ia menutup peluang bagi lahirnya penafsiran-penafsiran baru
oleh karena kecenderungan logosentris seperti ini—kecenderungan akan jaminan
makna dan kebenaran fundamental.
Dalam konsep lingusitiknya, Saussure mengembangkan
oposisi biner antara ucapan dan tulisan. Ucapan menurutnya mengandung kebenaran
logos, sebab bahasa dimulai dari ucapan. Namun bagi Derrida, tulisan adalah
aspek penting dalam proses berpikir tentang bahasa karena dengan demikian
tulisan dapat menjadi arena permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa dan
komunikasi.
Tulisan adalah proses pergerakan makna secara terus-menerus tanpa
henti dan bersifat abadi. Salah satu istilah sentral dalam filsafat Derrida
adalah differance.
Bagi para pemikir post-strukturalis, bahasa tidak lagi
semata sistem pembedaan (deifference) akan tetapi jejak/trace yang senantiasa
ditangguhkan/ditunda (differance); penanda dan petanda tidak lagi satu kesatuan
bagai dua sisi dari selembar kertas, melainkan terpisah; petanda tidak dengan
begitu saja hadir, melainkan ia selalu didekonstruksi, hubungan antara penanda
dan petanda tidak lagi bersifat simetris dan stabil berdasarkan konvensi, akan
tetapi tetap terbuka bagi permainan bebas penanda.
Kedua, Julia Kristeva
melalui semiotika reviolusionernya. Sebagaimana Derrida, Kristeva melihat bahwa
ada gejala pemutlakan makna tunggal dalam semiotika Saussurean karena ia dalam
menjelajahi ruang epistemologisnya, menolak hadirnya subjek sebagai agen
perubahan dan subversi bahasa.[19]
Dalam hal ini, Kristeva membedakan dua model pembentukan makna dalam wacana,
antara lain: Signifikasi yaitu pelembagaan makna melalui kontrol sosial dan Signifiance
yaitu makna yang bersifat kreatif dan subversif.[20]
Bahasa puitik, dalam hal ini, merupakan bentuk dari signifiance karena di
dalamnya proses revolusi bahasa menjadi mungkin.
Ketiga, Roland Barthes.
Seperti Kristeva, Barthes menolak klaim adanya makna tunggal oleh semiotik
konvensional. Bagi Barthes, dengan melenyapkan semua bentuk pelembagaan bahasa
dan membiarkan subjek tenggelam dalam horison kontradiksi diri maka pada saat
itulah apa yang disebut sebagai puncak kenikmatan atau jouissance dalam bahasa
dapat terwujud.
Dari penalaran di atas, SCB melalui credo
puisinya berupaya melawan hegemoni petanda (signified) atas penanda (signifier)
bahwa konsep lebih tinggi dari benda yang diwakili. Mengikuti Derrida, SCB
menunjukkan bahwa penanda dapat saja berfungsi sebagai petanda dan seterusnya.
Selain itu, SCB juga menolak anggapan bahwa tuturan lebih penting daripada
tulisan bertolak dari konsep metafisika kehadiran, yang mengatakan bahwa di
dalam tuturan pembicara hadir, dan demikian lebih kuat. Ujaran atau suara
menjadi tanda kebenaran dan otentisitas yang sesuai.
Namun, bagi Derrida dan
SBC, tulisan juga tidak kalah penting, karena kreativitas berbahasa justru
dimungkinkan oleh tulisan. Dengan ketidakhadiran pengarang, terciptalah ruang
kreativitas penafsiran di mana pembaca—menyitir Barthes—tenggelam dalam
kenikmatan bahasa.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari
tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain
seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan
dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Dengan adanya pemberontakan terhadap beban
makna dan moral seperti itu, tidak mengherankan jika beberapa tahun kemudian,
hingga saat ini, banyak karya sastra yang bertendensi demikian (sebut saja Jangan
Main-Main dengan Kelaminmu karya Djenar Maesa Ayu, atau penggunaan kata-kata
semisal “pantat”, “celana dalam”, “kentut”, dan “burung dalam celana” dalam
puisi-puisi Joko Pinurbo, penggunaan kata “lender” dan “vagina” oleh novelis
Ayu Utami, pelukisan adegan seksual dalam novel-novel F. Rahardi).
Pluralitas Permainan Bahasa
Dalam The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, J.F. Lyotard mendeskripsikan narasi sebagai sesuatu yang melaluinya
manusia dapat merangkai kehidupan dan memaknai realitas melalui narasi
pengetahuan.[21]
Itu berarti, mustahil mengetahui kondisi pengetahuan, terutama perkembangan dan distribusinya tanpa mengetahui situasi masyarakat dalamnya pengetahuan tersebut dikondisikan.[22]
Itu berarti, mustahil mengetahui kondisi pengetahuan, terutama perkembangan dan distribusinya tanpa mengetahui situasi masyarakat dalamnya pengetahuan tersebut dikondisikan.[22]
Dari perspektif seperti itulah, dapat dipahami mengapa terdapat kemungkinan
adanya fenomena di mana berbagai model narasi bersaing guna memperoleh
legitimasi atau pengakuan.
Melalui klaim-klaim universal, rasionalitas, dan totalitas, sebuah narasi berusaha mencapai status tertinggi dan karena itu menyebabkan proses marginalisasi, alienasi, dan pembungkaman terhadap narasi-narasi kecil.
Melalui klaim-klaim universal, rasionalitas, dan totalitas, sebuah narasi berusaha mencapai status tertinggi dan karena itu menyebabkan proses marginalisasi, alienasi, dan pembungkaman terhadap narasi-narasi kecil.
Sebaliknya, dalam masyarakat postmodern, yang lebih
diprioritaskan adalah narasi-narasi kecil seperti keyakinan terhadap
sifat-sifat lokalitas dan heterogenitas dari setiap sistem, penghargaan kembali
akan keunikan, kekhasan budaya, dan permainan bahasa yang termarginalkan.[23]
Meskipun demikian, menyitir Jean Baudrillard, menjamurnya mininarasi pada
akhirnya menyebabkan masyarakat post-modern sekadar kumpulan mayoritas yang
diam. Setiap pesan disampaikan kepada mereka, tetapi mereka hanya menginginkan
tanda, mereka memuja permainan tanda-tanda dan stereotip-stereotip.[24]
Tidak ada lagi yang lebih penting dan bermakna selain tanda karena semua hal
adalah tanda. Dengan demikian, terjadilah kekacauan dalam bahasa atau apa yang
disebut Fredric Jameson, sebagai bahasa skizofrenia yakni putusnya rantai
pertandaan yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk
suatu ungkapan atau makna.[25]
Selanjutnya, terciptalah bahasa skizofrenia, berupa rangkaian elemen bahasa
yang tidak saling berkaitan dan tidak mampu menghasilkan makna sebagaimana yang
diharapkan SCB ketika ia menulis,
Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya
biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata
meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya
sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang
mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatakan dirinya
dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan
sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya
karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri
Itulah zaman heteroglosia, sebuah situasi yang
diwarnai oleh bahasa yang mencerminkan kemeriahan dan keragaman suara. Karya
sastra seperti itu berharga untuk dibaca karena ia mengganggu cara pandang kita
terhadap kenyataan yang rutin dan ajek, dengan cara mempersoalkan realitas
tersebut, memparodikan, menggugat dan bahkan bermain-main terhadapnya.
Mempertimbangkan Status Mantera
Hemat saya, dekonstruksi, di satu pihak dapat
menggiring pembaca pada pemikiran yang bercorak nihilistik namun di lain pihak
adalah “sebuah pembelaan kepada the Other, kepada makna yang lain dari teks dan
logika permainan yang terepresi oleh kuasa kepengarangan”.
Oleh karena itu,
mustahil jika Sutardji berusaha-bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang
membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata
yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene)
serta penjajahan gramatika-tanpa melalui dekonstruksi terhadap bahasa.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan
kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya
adalah kata
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis
puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Mengembalikan kata kepada mantra adalah
mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya
sendiri.
Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana
gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa?
Jawaban atas pertanyaan ini
diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai
"Pantun" yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember
1997).
Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan
intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh
teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran
dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.
Di sini
Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat,
yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita
ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun.
Adalah menarik
bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi
dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
![]() |
Sutardji Calzoum Bachri dalam penampilannya pada Kenduri Seni Malyu Kepulauan Riau di Batam 2010. Sumber foto: bataminfrared.blogspot.com |
Proyek dekonstruksi yang dilakukan oleh
Sutardji pertama-tama diawali dengan sebuah proses mengembalikan kata kepada
mantera. Dalam mantra, kata-kata bisa hadir sebagai imaji pembentuk suasana
magis dan surealis, yang dengan itu pikiran luluh dalam kabut ketakpahaman.
Kata-kata di dalamnya sering tanpa makna, tetapi memiliki kekuatan memukau yang
luar biasa.
Dunia mantra sepenuhnya tidak rasional, tetapi sebagai ragam tutur
estetik memiliki logika sendiri. Ia diciptakan dengan tujuan memengaruhi bukan
saja jiwa manusia, tetapi juga hewan, tetumbuhan, bahkan mahluk-mahluk halus yang
dipercaya bertebaran di sekeliling kita.
Bahasa mantera yang lebih murni tampak
dalam sajak “Mantera”: lima percik mawar/tujuh sayap merpati/sesayat
langit perih/dicabik puncak gunung/sebelas duri sepi/dalam dupa rupa/tiga
menyan luka/mengasapi duka//puah!/Kau jadi Kau!/Kasihku!/
Dengan kembali ke mantra, Sutardji ingin
kembali kepada semangat pawang, ketika manusia belum dikungkung oleh
paham-paham falsafah dan keilmuan seperti rationalisme, intelektualisme,
scientisme, materialisme, neo-positivisme, darwinisme, proletarianisme, dan
lain-lain.
Semua itu jika diterapkan secara melampau dalam masyarakat yang
sejarah peradabannya berbeda dengan di Barat, hanya akan melahirkan semacam
snobisme budaya, pendangkalan, dan segala bentuk kepura-puraan yang tidak
terduga. Bahkan akan menciptakan masyarakat yang sakit, bukan saja tatanan
sosial politik dan ekonominya, tetapi juga kebudayaan dan spiritualitasnya.
Penyair berang, geram dan marah. Dia menjerit dan meraung-raung, mengamuk,
membawa kapak, dan dengan berdarah-darah meneruskan penjelajahannya mencari
Tuhan yang dengan itu ia harapkan persoalan dan teka-teki keberadaan dapat
dipecahkan. Kadang, ketika rasa lelah tidak tertahankan lagi dan segala upaya
yang dikerahkan menghasilkan setumpuk kesia-siaan, ia pun tunduk, pasrah, dan
kembali tidak acuh pada segala yang ada.
Dua sajak Sutardji yang diberi judul “Amuk”
dan “Kapak” secara simbolik memberi isyarat bahwa ia memilih jalan radikal
dalam melakukan perlawanan metafisiknya.
Ia ingin menjungkirbalikkan nilai-nilai, seperti Zarathustra[26], nabi apokaplitik Persia yang meninggalkan tanah kelahiranya Magian menuju Balkh (di Afghanistan sekarang) untuk mengumumkan bahwa yang selama ini dianggap Dewa oleh orang Arya sebenarnya adalah setan (asura Sansekerta; ahura Persia Kuna), sedangkan yang lazim dipandang setan sebenarnya adalah Dewa.
Sajak Sutardji “Amuk” adalah contoh yang representatif. Penyair menulis antara lain: kucing meraung dalam darah meronta dalam aorta/menderam dalam tiap zarrah marwah/dalam tiap kata diriku/hai kau dengar kucing memanggilMu?/aku lepaskan segala bahasa/agar kucingku bisa memanggilMu/aku biarkan penyair dengan kata-kata/tapi banyak yang meletakkan bertonton purapura/bergerobak kerak filsafat/hingga kata tercekik karenanya/bagaimana penyair bisa sampai tuhan/kalau kata tak sampai?/kambing umpan mati tercekik/sedang rimau tak makan bangkai
Ia ingin menjungkirbalikkan nilai-nilai, seperti Zarathustra[26], nabi apokaplitik Persia yang meninggalkan tanah kelahiranya Magian menuju Balkh (di Afghanistan sekarang) untuk mengumumkan bahwa yang selama ini dianggap Dewa oleh orang Arya sebenarnya adalah setan (asura Sansekerta; ahura Persia Kuna), sedangkan yang lazim dipandang setan sebenarnya adalah Dewa.
Sajak Sutardji “Amuk” adalah contoh yang representatif. Penyair menulis antara lain: kucing meraung dalam darah meronta dalam aorta/menderam dalam tiap zarrah marwah/dalam tiap kata diriku/hai kau dengar kucing memanggilMu?/aku lepaskan segala bahasa/agar kucingku bisa memanggilMu/aku biarkan penyair dengan kata-kata/tapi banyak yang meletakkan bertonton purapura/bergerobak kerak filsafat/hingga kata tercekik karenanya/bagaimana penyair bisa sampai tuhan/kalau kata tak sampai?/kambing umpan mati tercekik/sedang rimau tak makan bangkai
Ciri khas puisi SCB adalah ciri khas
dekonstruksi: selalu tampak di balik teks, dari satu teks ke teks yang lain,
atau dalam bahasanya Derrida, dari satu jejak (trace) ke jejak yang lain.
Hal
ini pernah digagas oleh Derrida ketika menyaksikan sejarah metafisika Barat
yang hidup dari pengalaman dan budaya yang dibentuk oleh tulisan fonetik, yaitu
konsep tulisan yang memprioritaskan phone dan mengandaikan bahwa sang penutur
hadir dalam teks yang ditulisnya.[27]
Sebagaimana Derrida, Sutardji menujukkan bahwa tidak ada tulisan fonetik yang
murni, karena tidak ada phone yang murni fonetik.[28]
Setiap tulisan fonetik yang mengasumsikan phone sebagai basis titandanya selalu
mengandung anasir dari sistem nonfonetik yang terdiri atas pungtuasi (peletakan
tanda baca), spasi, refrein, dan elipsis yang membentuk ruang kosong di sekujur
teks.
Sebagai contoh, puisi ini tidak memiliki makna apa-apa jika dibaca secara
tekstual semata. Hanya dengan membunyikannya, makna puisi tersebut akan muncul
dengan aneka muatan yang memukau pendengar.
hai Kau dengar manteraku/kau dengar kucing
memanggilMu/izukalizu/mapakazaba itazatali/tutulita/papaliko arukabazaku kodega
zuzukalibu/tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco/zukuzangga zegezegeze
zukuzangga zege/zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang/ga zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zu/ku zangga zegezegeze aahh....!/nama nama kalian bebas/carilah
tuhan semaumu
Catatan Kritis: Tanggapan dan Relevansi
Membaca puisi Sutardji yang sarat upaya
membebaskan kata dari makna dengan melanggar sistem bahasa, terdapat beberapa
awasan yang patut dimiliki oleh pembaca awam.
Pertama, akan menyesatkan jika
“mengembalikan kata pada mantera” justru ditafsir secara letterlijk, harafiah! Kedua,
membandingkan perlawanan metafisik Sutardji dengan perlawanan Dyonisius
terhadap Apollo sebagaimana dikemukakan oleh Nietzsche dalam The Birth of
Tragedy. Baik Sutardji maupun Nietzsche, keduanya tidak memberi tempat bagi
spiritualitas dan agama modern.
Jika demikian, model agama seperti apakah yang
ingin ditawarkan Sutardji?
Ketiga, meskipun Sutardji sendiri pernah
mengungkapkan bahwa, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia
bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri.
Dia bebas.”
Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan
penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik sastra
yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak dinyatakan
bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.”
Ini membingungkan
karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan relasi kuasa? Sementara
bila pengertian kata yang bebas berarti benar-benar bebas, akan memberi beban
pembenaran bahwa dogma Sutardjian tidak memberikan kepedulian terhadap
naturalitas hukum alam dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak
dibawa ke mana kontradiksi argumen Sutardjian ini?
Meskipun demikian, gagasan mengembalikan kata pada mantera
merupakan terobosan yang baru dalam peta perpuisian Indonesia. Di sini,
Sutardji berusaha membongkar keterikatan aturan ketat pada bahasa seperti
pantun, gurindam, dan syair.
Dari situlah, lahirlah istilah Licentia Poetica-yang
lebih banyak membingungkan dan menimbulkan polemik hingga saat ini. Dalam
mantera, yang ditekankan Sutardji bukanlah makna, tetapi pengaruh magis dari
kata-katanya yang mampu membangkitkan asosiasi tertentu sebagaimana ragam tutur
lain yang lahir dari tradisi lisan, unsur improvisasi, dan spontanitas.
Selain
itu, sejalan dengan spirit postmodernisme yang mengagungkan pluralitas gaya dan
metode pembacaan atas “faktum kebenaran”, Sutardji melakukan perlawanan
metafisiknya terhadap intelektualisme dan rasionalisme yang mendasari peradaban
modern yang menindas.
Hal ini tercermin secara simbolik dalam hasratnya untuk
melakukan pembebasan kata dari beban ide dan pengertian. Dalam sajaknya “Sudah
Waktu”, ia menulis: Sudah waktunya/memasukkan kembali/seluruh langit/semua
langit/setiap darat/ke dalam dirimu//karena asal tanah itu kau/asal langit itu
kau/asal laut itu kau/asal jagat itu kau
Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Mohammad. Derrida, Yogyakarta:
LkiS, 2005.
Baudrillard, Jean. In the Shadow of the Silent
Majority, Semiotext (e): New York, 1983.
Claude Lѐvi Strauss. Structural Anthropology,
Harmondsworth: Penguin, 1997.
Culler, Jonathan. Saussure, Fontana Press,
1977.
Damono, Sapardji Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, P dan K,
1978.
Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar,
Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern, Dari
Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007.
---------------------. Kritik Ideologi, Menyingkap
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas,
Yogyakarta:Kanisius, 2009.
Kaufmann, Walter. Nietzsche, Philosopher,
Psychologist, Antichrist, New Jersey: Princenton University Press, 1974.
Kellner, Douglas. Jean Baudrillard From
Marxism to Postmodernism and Beyond, California: Stanford University Press,
1989.
Kleden, Ignas. “Puisi dan Dekonstruksi:
Perihal Sutardji Calzoum Bachri” esai yang disampaikan 2007 untuk menghormati
SCB 66 tahun pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di Taman Ismail Marzuki
(TIM), Jakarta, 19 Juli.
Lyotard, Jean-François. The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge, Manchester: Manchester University Press,
1986.
Noor, Agus. Matinya Toekang Kritik,
Yogyakarta: Lamalera, 2006.
Nietzsche, Friedrich. Thus Spoke Zarathustra:
A Book for All and None, (terj.) Thomas Common, USA: The Pennsyvania State
University, 1961.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Piliang, Yasraf Amir. Dunia Yang Dilipat,
Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Bandung: Matahari, 2010.
Rahardi, Kunjana. Bahasa Indonesia dalam
Problematika Kekinian, Malang: Dioma, 2003.
Santosa, Akhmad. Nietzsche Sudah Mati,
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Sastrapratedja (ed), M. Manusia Multi
Dimensional, Jakarta: Gramedia, 1986.
Steuerman, Emilia. The Bounds of Reason:
Habermas, Lyotard, and Melanie Klein on Rationality, London: Routledge, 2000.
Majalah VOX, Seri 47/3-4, 2003.
Jurnal Ledalero, Vol.3, No. 2, 2004.
Kompas (18/11/2011) http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/23/11023598/kisah.sedih.
.
[1]Sutardji Calzoum Bachri (SCB) adalah pengarang yang menggebrak dunia sastra di Indonesia pada tahun 1970-an karena puisinya yangmelakukan banyak penyimpangan. Pradopo mengatakan bahwa penyimpangan itu diantaranya berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis kata dari kata lain tanpa mengubah bentuk morfologisnya. Hampir dapat dikatakan pada setiap sajaknya terdapat penyimpangan tata bahasa normatif. Bandingkan, Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012, halaman 106; Ignas Kleden, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” esai yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007 untuk menghormati SCB 66 tahun.
[2]Friedrich Nietzsche, “Die Fröhliche Wissenschaft, No. 125” dalam Walter Kaufmann, Nietzsche, Philosopher, Psychologist, Antichrist, New Jersey: Princenton University Press, 1974, halaman 97.
[3]James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta: Kanisius, 2010, halaman 244.
[4]A. Sudiarja, “Pergulatan Manusia dengan Allah dalam Antropologi Nietzsche”, dalam M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional, Jakarta: Gramedia, 1986, halaman 13-14.
[5]F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, halaman 262.
[6]Agus Noor, Matinya Toekang Kritik, Yogyakarta: Lamalera, 2006, halaman 252.
[7]Akhmad Santosa, Nietzsche Sudah Mati, Yogyakarta: Kanisius, 2009, halaman 158.
[8]Douglas Kellner, Jean Baudrillard From Marxism to Postmodernism and Beyond, California: Stanford University Press, 1989, halaman 118.
[9]Ibid. 119.
[10]Dalam diri manusia selalu terkandung sebuah kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) tetapi dikekang oleh besarnya pengaruh agama Kristen yang memprioritaskan rasionalitas moral atau roh. Untuk mengatasi ‘kemanusiaan lama’, manusia yang dahulu dibelenggu oleh perbudakan, adalah dengan memiliki sifat-sifat manusia agung, atau yang disebut sebagai “manusia yang lebih tinggi” (höher mensch), atau “orang besar” (grosse Mann), atau “adimanusia” (Ubermensch). Bandingkan Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None, (terj.) Thomas Common, USA: The Pennsyvania State University, 1961, halaman 268.
[11]Claude Lѐvi Strauss, “The Sorcerer and His Magic“ dalam Structural Anthropology, Harmondsworth: Penguin, 1997, halaman 27.
[12]Kunjana Rahardi, Bahasa Indonesia dalam Problematika Kekinian, Malang: Dioma, 2003, halaman 33.
[13]Romualdus Kaju, ”Kritik Atas Hermeneutik Bahasa Jurgen Habermas”, VOX, Seri 47/3-4, 2003 halaman 108.
[14]John Mansford Prior, ”Bahasa Ritual dan Bahasa Hak Asasi di Indonesia Timur”, Jurnal Ledalero, Vol.3, No. 2, 2004, halaman 53.
[15]Budi Harman, Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta:Kanisius, 2009, halaman 218.
[16]Sapardji Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, P dan K, 1978, halaman 33.
[17]Indra Tranggono, “Kisah Sedih ‘Lastri’ Eros Djarot“ dalam Kompas (18/11/2011) http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/23/11023598/kisah.sedih, diakses pada tanggal 23 Mei 2012, pkl. 15. 30 WITA.
[18]Jonathan Culler, Saussure, Fontana Press, 1977, halaman 28.
[19]Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Bandung: Matahari, 2010, halaman 262.
[20]Ibid.
[21]Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester: Manchester University Press, 1986, halaman 18.
[22]Selama abad modern, ilmu pengetahuan ilmiah dan sains mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jenis pengetahuan yang valid dengan merujuk pada meta-wacana seperti dialektika Roh, subjek yang rasional. Dengan demikian, postmodernisme, dalam ranah pengetahuan, dimengerti oleh Lyotard sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi. Ibid. 17.
[23]Dalam Linguistic Turn, Lyotard menggunakan permainan bahasa secara heterogen untuk melukiskan posisi narasi-narasi kecil. Dalam proses tersebut, tidak ada unsur kesatuan dan esensi dari bahasa. Bagi Lyotard, bahasa dalam pengertian ini, bersifat “agnostik”, sebuah kancah pertentangan dan konflik yang tidak pernah sempurna. Tidak ada bentuk permainan lain, tidak ada bahasa lain, dan tidak ada ungkapan apa pun yang bisa mendamaikan perbedaan tersebut. Bdk. Emilia Steuerman, The Bounds of Reason: Habermas, Lyotard, and Melanie Klein on Rationality, London: Routledge, 2000, halaman 38.
[24]Jean Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majority, Semiotext (e): New York, 1983, halaman 30.
[25]Yasraf Amir Piliang, Op.Cit., p. 346.
[26]Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh F. Nietzsche untuk menjelaskan kelahiran superman atau adimanusia, pasca “kematian Allah”. Kritikannya terhadap moralitas Kristen tampak jelas dalam pemikirannya tentang moralitas tuan dan moralitas budak yang dapat dibaca dalam F. Nietzsche, “Die Fröhliche Wissenschaft, No. 125” dalam Walter Kaufmann, Op.cit., halaman 97.
[27]Tulisan fonetik ini dalam linguistik Saussure sebenarnya merupakan derivasi dari wicara dalam bentuknya yang konkret. Dengan kata lain, tulisan fonetik menerjemahkan kehadiran dan penutur dalam teks. Dalam tulisan fonetik, apa pun yang kita tulis dianggap sebagai representasi dari suara dan kehadiran kita. Bdk. Mohammad Al-Fayyadl, Derrida, Yogyakarta: LkiS, 2005, halaman 112-113.
[28]Ibid.
Comments
Post a Comment