Industri Pertahanan Nasional Butuh Wawasan Geopolitik*

Post a Comment

(Imajinasi Industri Pertahanan Nasional 10 Tahun Mendatang)


War does not determine who is right—only who is left.
—Betrand Russel

Rapim Kementerian Pertahanan tahun 2018. Merdeka.com/Hari Ariyanti


Mustahil membayangkan masa depan industri pertahanan nasional 10 tahun mendatang tanpa adanya informasi yang memadai berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, ketersediaan kebutuhan ALPALHANKAM (Alat-Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) secara mandiri. Kedua, daya saing industri pertahanan Indonesia di pasar internasional. Ketiga, dinamika sosial, politik, dan kebudayaan di dalam dan luar negeri. Keempat, inovasi di bidang teknologi dan komunikasi kemiliteran.

Tentu saja, empat hal di atas tidak dapat dibahas secara mendetail dalam tulisan ini mengingat betapa luas cakupannya. Sebaliknya, saya coba memberikan gambaran umum yang melaluinya dapat membantu pembaca mengimajinasikan seperti apa eksistensi industri pertahanan nasional 10 tahun mendatang.

Secara metodologis, artikel ini dibuat dengan menggunakan metode penelitian kualitatif di mana saya berusaha membaca pelbagai referensi yang berkaitan dengan industri pertahanan nasional baik itu berupa artikel di surat kabar, laporan penelitian, pidato, regulasi atau kebijakan pemerintah, laporan internasional, dan informasi terkait lainnya.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dan saya analisis, tulisan ini memuat beberapa argumentasi hipotetif antara lain:

Pertama, rendahnya daya saing industri pertahanan nasional terjadi tepat ketika ada ketidakstabilan sistem politik dan ekonomi baik di dalam maupun luar negeri.

Kedua, mengimajinasikan industri pertahanan nasional 10 tahun mendatang membutuhkan wawasan geopolitik yang komprehensif, minimal terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Ketiga, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) baik dalam lingkup militer maupun non-militer (perbedaan dua hal ini akan dijelaskan kemudian) menyebabkan mandeknya proses transfer teknologi dalam rangka membangun pertahanan nasional yang memiliki daya tangkal dan daya gedor yang signifikan.

Berdasarkan tiga hipotesis di atas, sekurang-kurangnya tulisan ini bertujuan:

Pertama, memberikan informasi kepada publik mengenai kondisi pertahanan nasional saat ini. Kedua, menjadi referensi pembanding bagi industri pertahanan nasional dan lembaga kementerian terkait lainnya dalam merumuskan kebijakan pertahanan nasional.


Mengamati Geliat Pertahanan Nasional Saat Ini: Potensi dan Kelemahan


Berdasarkan Laporan Global Fire Power Tahun 2022, AS menempati peringkat pertama sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar diikuti Russia di posisi kedua, China di posisi ketiga dan Indonesia berada di peringkat kelima belas.

Meskipun demikian, di kawasan Asia Tenggara, kekuatan militer Indonesia justru menempati peringkat pertama, mengungguli negara-negara ASEAN.


Pemeringkatan di atas cukup prestisius dan menyihir publik. Namun, jika data itu dianalisis lebih mendalam, kekuatan militer Indonesia khususnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) tidaklah memadai dibandingkan dengan negara lain ASEAN.

Di kategori maritim misalnya, Indonesia memang unggul dengan memiliki jumah terbanyak kapal tempur yakni 221 namun tidaklah demikian dengan kategori udara dan darat.

Di kategori kekuatan tempur angkatan udara, Indonesia berada di peringkat kedua setelah Thailand. Sementara itu, di kategori darat, kekuatan militer Indonesia berada di posisi ketiga untuk kekuatan artileri tarik (356 buah) dan di peringkat kelima untuk kekuatan tank tempur (315 buah).

Sementara itu, Myanmar menempati peringkat pertama untuk kekuatan atileri tarik (1582 buah), diikuti Thailand di posisi kedua (700 buah).

Demikian juga Vietnam di peringkat pertama untuk kekuatan tank tempur (2575 buah) diikuti Thailand di posisi kedua (805), Kamboja di posisi ketiga (550 buah), dan Myanmar di posisi keempat (434 buah).

sumber: kkip.go.id

Dari data di atas, tidak mengherankan jika pembangunan alutsista merupakan salah satu program prioritas strategis dari industri pertahanan nasional yang tertuang dalam Master Plan Pembangunan Industri Pertahanan tahun 2010-2019. Di situ disebutkan adanya dua target utama yakni target alutsista dan target industri pertahanan (lihat selanjutnya di: www.kkip.go.id).

Pada yang pertama, diupayakan untuk menghasilkan alutsista yang memiliki moilitas tinggi dan bersifat sebagai pemukul yang dahsyat dan diproduksi secara mandiri.

Sementara itu pada yang kedua, target industri pertahanan, yakni memenuhi pasar dalam negeri (jangka pendek) yang bersaing secara internasional dan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi.

Meskipun demikian, patut dicatat bahwa pembangunan alutsista yang disebutkan di atas sebenarnya terbagi ke dalam empat tahapan antara lain:

Tahap I MEF (Minimum Essential Force/kekuatan pokok minimum) dimulai sejak tahun 2009 hingga tahun 2014 (pembangunan dan modernisasi Alutsista beserta teknologinya dengan menerapkan prinsip Zero Growth.

Maksudnya, penataan personel diarahkan pada peningkatan kemampuan dari padat manusia menjadi pada berbasis teknologi dan diawaki oleh personel yang berkualitas tinggi), tahap II berlangsung dari tahun 2015 hingga 2019, tahap III dilaksanakan dari tahun 2020 hingga tahun 2024, dan tahap IV direncanakan dari tahun 2025 hingga 2029.

Untuk menentukan pedoman dalam proses produksi dan pengembangan industri pertahanan khususnya modernisasi Alutsista, dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Sebagai catatan tambahan, jika menengok ke belakang, potensi kemandirian industri pertahanan Indonesia memang sempat kolaps pada awal era reformasi dan kembali dibangun melalui program Roundtable Discussion di Kementerian Pertahanan pada tahun 2004.

Selanjutnya, pada tahun 2010, melalui Perpres Nomor 42 tahun 2010, lahirlah Komite Kebijakan Indsustri Pertahanan (KKIP) yang bertugas menentukan arah strategis pembangunan industri pertahanan dalam negeri.

Di dalamnya ada enam Menteri Kabinet yang terkait yaitu Menteri Pertahanan sebagai leading sector, Menteri BUMN, Menteri Perindustrian, Menteri Riset dan Teknologi, dan Menteri Keuangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

KKIP juga bertugas mendorong percepatan pembangunan MEF TNI dengan memanfaatkan keberadaan PT DirgantaraIndonesia (DI), PT Pindad, dan PT PAL sebagai tiga industri pertahanan terbesar milik negara.

Sekalipun proses modernisasi alutsista dapat dilakukan, terdapat beberapa perkerjaan rumah yang mesti diperhatikan antara lain: peningkatan sumber daya manusia khususnya transfer of technology.

Cukup menggembirakan karena dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, telah didirikan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian terbesar di Asia Tenggara dan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia (IPSC) di Sentul Bogor yang meliputi: Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian, Pusat Penanggulangan Terorisme, Pusat Pelatihan Penanggulangan Bencana dan Bantuan Kemanusiaan, Pusat Bahasa, Universitas Pertahanan, dan Pusat Olahraga Militer.

Namun pencapaian termaksud belum maksimal. Terdapat berbagai persoalan lain yang mesti dientaskan sedini mungkin jika ingin industri pertahanan nasional mampu berkompetisi sekurang-kurangnya di kawasan Asia Pasifik.

Pertama, faktor internal yakni hal-hal yang berkaitan langsung dengan mekanisme internal dalam tubuh pertahanan nasional meliputi kesejahteraan dan persebaran personel di berbagai kawasan NKRI, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, riset di bidang kemiliteran, besarnya kuota anggaran, dan seterusnya.

Mengenai yang pertama, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI, ditetapkan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Manusia bagi prajurit TNI sejak pembinaan hingga masa akhir dinas.

Meskipun begitu, ada empat permasalahan yang belum diatasi yakni belum diatur secara akurat antara jumlah kebutuhan personel berdasarkan komposisi kepangkatan, golongan kecabangan, dan sumber prajurit, serta jumlah personel yang akan purna bakti.

Demikian juga adanya penumpukan personel khususnya di Pulau Jawa sementara kekurangan personel di luar Pulau Jawa terutama di daerah perbatasan, terdepan, dan terluar.

Pasukan TNI dari Yonif 131/Braja Sakti dan tentara Malaysia melakukan patroli bersama sambil mengecek patok perbatasan kedua negara di perbatasan Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Rabu (17/5). Foto: MediaIndonesia/Erandhi Hutomo Saputra

Kekacauan komposisi personel ini semakin diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan dan pelatihan prajurit seperti alat simulasi tempur, dan laboratorium militer.

Selain itu, belum terbukanya kesempatan yang luas bagi seluruh prajurit untuk mengikuti pendidikan di luar negeri menyebabkan tersendatnya proses transfer pengetahuan dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.

Dan yang terakhir, dan juga sudah menjadi rahasia umum, yakni persoalan kesejahteraan prajutir TNI.

Kedua, faktor eksternal yakni dimensi sosial dan politik yang memengaruhi mekanisme industri pertahanan nasional antara lain: kisruh sosial dan politik baik di dalam negeri maupun di luar negeri, belum mampu mendefinisikan sosok lawan, dan lemahnya wawasan tentang peta geopolitik global.

Pentingnya wawasan geopolitik mengingatkan saya pada argumen Sun Tzu dalam bukunya Art of War, di mana ia menulis, “kemenangan tidak dapat diharapkan ketika suatu pihak tidak memahami kemampuannya sendiri dan juga karakteristik lawannya”.

Dengan kata lain, Indonesia cukup sulit mengidentifikasi pihak yang menjadi lawannya tepat ketika kisruh sosial politik di dalam negeri belum mampu dientas secara maksimal.

Atau, jika dibahasakan lebih lugas, bagaimana mungkin Indonesia mampu mendefinisikan pihak lawan di luar ketika sesama warga negaranya justru saling memusuhi?

Tepat dalam konteks inilah, artikel ini berupaya membahas hal yang paling krusial yakni pertahanan dalam negara.

Untuk membuat pertahanan suatu negara menjadi kuat, setidaknya diperlukan 2ED yakni Economic power, Education for Reserve Personnel (pendidikan nasionalisme dan bela negara), dan Deterrent Effect (daya Tangkis atau daya gentar).

Kategori terakhir memang tidak bisa diabaikan begitu saja di mana kekuatan militer Indonesia menempati peringkat pertama di ASEAN. Namun berkaca pada kategori pertama dan kedua, kita perlu sadar bahwa ternyata ada banyak hal yang belum tuntas.

Memprediksi Masa Depan, Merancang Strategi


Sebagai negara dengan gugus kepulauan terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang potensial serentak rentan terhadap serangan aktual. Belum lagi, pelbagai gejolak di beberapa daerah merupakan problem lain yang belum menemukan strategi solutif.

Mengatasi hal ini, telah dicanangkan kebijakan pengerahan TNI di wilayah perbatasan, pembangunan dan peningkatan kualitas pos TNI di wilayah perbatasan dan penanaman kesadaran bela negara bagi penduduk di sekitar perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar.

Namun, berdasarkan pengamatan saya, perlu dilakukan beberapa hal ini:

Pertama, perlu adanya refungsionalisasi penyelenggaraan tugas pokok kementerian pertahanan di daerah. 

Artinya, terselenggaranya kebijakan pertahanan yang komprehensif sangat bergantung pada sejauh mana kecukupan informasi dan pengetahuan mengenai karakteristik plural konteks kedaerahan di seluruh wilayah NKRI. Tanpa adanya pengetahuan yang jelas dan akurat, tindakan advokasi pertahanan mustahil terjadi.

Kedua, meminimalkan ketergantungan alutsista TNI dari produk luar negeri yang rawan embargo.

Selain itu, beberapa industri swasta nasional yang mampu menghasilkan peralatan militer belum mendapat peran yang optimal (beberapa perusahan swasta yang berafiliasi dengan Industri Pertahanan, bisa dilihat di sini).

Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, “Pindad punya kemampuan memproduksi 200-250 juta butir peluru dan amunisi dalam satu tahun. Tapi dalam praktiknya Pindad tidak pernah mencapai full capacity. Tidak pernah mencapai angka 250 juta.”

Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan bahwa hal itu disebabkan oleh karena industri pertahanan belum memanfaatkan potensi itu secara maksimal.

Selanjutnya, ia menegaskan bahwa jika ingin industri pertahanan nasional menjadi kuat, perlu adanya kerja sama antara BUMN dan swasta (JawaPos, 29 November 2019).

Dikatakan demikian karena pembinaan industri pertahanan domestik telah terbukti dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sistem pertahanan dan modernisasi alutsista China dan India yang saat ini tumbuh menjadi kekuatan militer terbesar di Asia.

Di Indonesia misalnya, keandalan produk industri pertahanan negara ini mulai diakui dengan pengggunaan varian senapan SS yang diproduksi oleh PT. Pindad sebagai senapan organik di lingkungan TNI dan Polri atau kendaraan tempur berupa panser yang diberi nama Anoa.
Demikian juga pesawat intai maritim yang diproduksi oleh PT. DI.

Perkembangan baik ini perlu ditingkatkan selama 10 tahun ke depan (beberapa inovasi lain dapat dilihat di sini).


Anoa 6×6 Amfibi merupakan inovasi terbaru atas kendaraan berplatform Anoa 6×6, yang mampu menunjukkan manuver yang sangat baik, baik di darat maupun di perairan. Sumber: kkip.go.id.

Ketiga, perlunya adanya intergasi dimensi kebudayaan dalam industri pertahanan. Masalahnya sekarang terletak pada budaya yang dikembangkan oleh masing-masing stake holder.

Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Huntington yang melihat betapa besarnya peran budaya dalam mencapai suatu keberhasilan. Korea Selatan dengan budayanya membuatnya unggul dibandingkan Ghana.

Demikian juga rumpun budaya Tiongkok mampu membawa negaranya unggul dalam proses industrialisasi dibandingkan dengan rumpun Melayu.

Oleh sebab itu, unsur industri pertahanan yang terdiri dari BUMNIP dan didukung oleh perusahan swasta perlu mengembangkan budaya “gotong royong” dan “pancasila” yang saat ini berada dalam posisi krusial.

Berdasarkan laporan dari Kepala Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional (Labkurtannas) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), indeks ketahanan nasional Tahun 2019 cukup tangguh.

Indeks secara keseluruhan diperoleh dari lima gatra ketahanan nasional yakni ketahanan politik, ekonomi, ideologi, dan sosial budaya.

Meskipun secara politik dan ekonomi, Indonesia cukup tangguh, namun dalam bidang ideologi dan sosial budaya kurang tangguh.

Di bidang ideologi, digunakan beberapa variabel antara lain toleransi, frekuensi dialog antarumat beragama, frekuensi konflik dan intensitas konflik fisik massa.

Selanjutnya di bidang sosial budaya, ditilik dari beberapa variabel yakni rata-rata lama pendidikan, jumlah konflik antaraparat pemerintah, dan narkoba (Merdeka.com, Selasa, 23 April 2019).

Itu berarti, industri pertahanan nasional perlu bekerja keras dalam rangka menghilangkan image atau kesan buruk dari publik yang cenderung menilai betapa pemerintah lebih senang mengangkat senjata melawan rakyatnya sendiri sambil pada saat yang sama menganggap warga negara lain yang melaut secara illegal sebagai sahabat.


Keempat, meningkatkan anggaran untuk riset dan teknologi yang selama ini minim bahkan lebih rendah daripada anggaran riset sebuah perusahan asing.

Dalam hal ini, dibutuhkan kerja sama baik itu dengan lembaga penelitian dan riset dalam negeri maupun dengan perguruan tinggi.

Terdapat beberapa contoh bagus mengenai hal ini misalnya kerja sama dalam bidang pendidikan antara TNI Angkatan Darat (AD) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di mana para prajurit TNI bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 dan S-3 tanpa melepaskan jabatan mereka.

Menurut Kepala Staf TNI AD Andika Perkasa, sebanyak 42 prajurit menempuh pendidikan S-2 dan 4 prajurit mengambil S-3 yang tersebar di sejumlah program studi seperti ketahanan nasional, hukum, ilmu sosial dan politik, cyber security, hingga kepemimpinan inovasi kebijakan.

Mengenai hal yang sama, Rektor UGM Panut Mulyono menyatakan bahwa perkuliahan itu akan dimulai pada bulan Februari 2020 di mana fokus mereka adalah penelitian-penelitian atau melakukan riset di bidang masing-masing.

“Kami mendambakan TNI itu kuat di bidang-bidang keilmuan. Bukan hanya dalam persenjataan, melainkan juga wawasan sosial, teknologi, dan pengetahuan masa kini,” kata Panut. (Kompas, 1 Januari 2020).

Kerja sama seperti ini juga dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI) dengan PT Dirgantara Indonesia dalam rangka menjalankan riset industri pertahanan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Rektor UI Muhammad Anis, kampusnya misalnya telah mengembangkan Kapal Makara-05 dan Makara-06 yakni masing-masing drone untuk permukaan dan bawah laut.

Kerja sama seperti ini sudah dilakukan sebelumnya seperti proyek pengembangan pesawat perintis N2 19 (Tempo, 6 September 2017).

Upacara Pembukaan Pendidikan Pertama Tamtama TNI Angkatan Darat Gelombang II Tahap I Tahun Anggaran 2018. Bertempat di lapangan Alianyang Rindam XII/Tpr, Jalan Pasir Panjang, Singkawang, Senin (26/11/2018).


Riset di bidang teknologi persenjataan sebagai produk industri pertahanan merupakan kebutuhan yang mendesak atau yang dikenal dengan Revolution in Military Affairs (RMA) di mana telah terjadi perubahan mendasar dalam hal karakter dan cara melakukan operasi militer.

Saat ini, teknologi persenjataan dengan kemampuan ‘hantu’ dan persenjataan tanpa awak seperti Unmaned Aerial Vehicle (UAV) menjadi produk-produk andalan industri pertahanan negara-negara maju.

Inovasi di bidang ini perlu diprakarsai mengingat manusia sedang berada dalam transisi dari fourth generation war menuju fifth generation war.

Karakteristik dari transisi menuju generasi kelima ini melibatkan penggunaan teknologi persenjataan yang canggih dan perubahan dalam konteks perang tersebut digelar.

Kelima, mewujudkan pertahanan negara dilakukan usaha dalam sistem pertahanan bersifat semesta yang menggabungkan kekuatan pertahanan militer dan kekuatan pertahanan nonmiliter.

Sistem pertahanan militer terdiri dari komponen utama yakni TNI didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Kemandirian pertahanan militer didukung oleh ketersediaan alutsista secara mandiri.

Sementara kemandirian pertahanan nonmilter lebih bersifat dinamis, mengingat keunggulan dan nilai ekonomi serta politik sangat besar perannya dalam membangun kemandirian pertahanan nonmiliter.

Konkretnya, pertahanan nonmiliter menyelenggarakan fungsi-fungsi diplomasi, ekonomi, psikologi, teknologi dan informasi serta kesemalatan umum secara mandiri dan bekerja sama dalam koordinasi tingkat lokal, nasional sampai internasional.

Keterpaduan dalam kemandirian antara pertahanan militer dan pertahanan nonmiliter menghasilkan daya tangkal yang mampu mencegah dan mengatasi setiap bentuk ancaman khususnya blockade dan embargo.

Misalnya dengan cara ini Indonesia tidak lagi mengulangi terjadinya embargo persenjataan yang diterapkan oleh AS pada awal tahun 1990-an.

Secara implementatif, kebijakan pertahanan nonmiliter adalah melaksanakan pembinaan kesadaran bela negara secara terpadu dan lintas sektoral dengan elemen masyarakat terkait untuk memantapkan upaya national character building.

Mengenai hal di atas, tidak keliru jika Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berencana menggandeng Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Perguruan Tinggi untuk menyiapkan komponen cadangan pertahanan Indonesia.

Kerja sama itu bertujuan menyiapkan komponen cadangan pertahanan nonmiliter sebagaimana dijelaskan sebelumnya di atas.

Sambil membuat perbandingan dengan AS, “Kita lihat negara Amerika, sumber perwira itu mereka dapatkan dari akademi militer, mungkin 20 persen, 80 persen adalah perwira cadangan dari universitas-universitas,” kata Prabowo. (Tempo.co, 1 November 2019).

Jika semua hal yang disebutkan di atas dapat dilakukan secara komprehensif, saya yakin industri pertahanan nasional mampu berkompetisi bukan hanya di kawasan Asia secara keseluruhan melainkan juga di kawasan Amerika dan Eropa.

*artikel ini meraih juara II dalam lomba artikel blog yang diadakan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Kementerian Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.





Yohanes W Hayon
Malas makan, rakus membaca, minder bertemu perempuan cantik, dan ingin menjadi dongeng

Baca juga

Post a Comment

Arsip Juara Kompetisi