(Dipublikasikan di antologi cerpen pemenang sayembara menulis cerpen
yang diadakan oleh Penerbit Diva Press)
Satu
Jika disuruh memilih, aku lebih
suka terlahir sebagai seorang manusia daripada seorang pegawai pajak. Manusia
dilahirkan tetapi pegawai pajak diciptakan. Manusia dicintai namun pegawai
pajak tidak diacuhkan. Dan bila seseorang dihargai karena ia manusia,
sebaliknya pegawai pajak dibenci dengan alasan yang sama, karena ia sekadar manusia.
Setelah
diterima bekerja di salah satu kantor perpajakan, orientasi hidupku berubah
drastis. Itulah masa di mana puluhan sahabat karib perlahan mengambil jarak
dariku. Bahkan beberapa di antaranya melontarkan cacian dan sumpah serapah.
Membuang ludah sambil mencibirkan bibir lalu menghilang dengan terlebih dahulu
membanting pintu rumah. Padahal aku tahu, mereka orang yang baik. Hidup mereka
saleh. Prestasi akademik mereka cemerlang. Gagasan mereka jitu dan sarat
orientasi. Tetapi dengan pegawai pajak sepertiku, semua latar belakang itu
mereka tanggalkan dan menganggap diriku musuh nomor satu di dunia. Tanpa
alasan. Tanpa kata-kata dan isyarat. Meskipun dalam hati, diam-diam betapa aku
merindukan mereka.
Puncak
kerinduan paling ngeri adalah kesepian-kesepian yang kuderita setelah kepergian
Sisilia. Dua tahun lalu, ketika kami resmi menjalin kasih, merapatkan orientasi
hidup bersama, membangun masa depan beserta pengandaian-pengandain muskil tapi
penuh harapan, seolah-olah raib begitu saja tanpa aba-aba. Perempuan itu
menyudahi hubungan kami setelah mengetahui profesiku yang sebenarnya.
Harus kuakui bila segala keinginannya murni lahir dari bahasa seorang perempuan. Sisilia tentu berhasrat untuk memiliki kekasih tetapi tidak dengan kemungkinan ditelantarkan oleh masyarakat. Namun apa boleh buat, pekerjaan seperti ini terlanjur menjadi predikat yang melekat turun temurun. Alfeus, ayahku itu, seorang pegawai pajak. Juga kakekku. Semuanya menjadi pegawai yang luar biasa hebat. Termasuk luar biasa dibenci, baik oleh isteri mereka maupun orang sekampung!
Harus kuakui bila segala keinginannya murni lahir dari bahasa seorang perempuan. Sisilia tentu berhasrat untuk memiliki kekasih tetapi tidak dengan kemungkinan ditelantarkan oleh masyarakat. Namun apa boleh buat, pekerjaan seperti ini terlanjur menjadi predikat yang melekat turun temurun. Alfeus, ayahku itu, seorang pegawai pajak. Juga kakekku. Semuanya menjadi pegawai yang luar biasa hebat. Termasuk luar biasa dibenci, baik oleh isteri mereka maupun orang sekampung!
Yang membuatku sedih hanyalah bagaimana perempuan yang begitu
kucintai itu pada akhirnya dengan mudah mencampuradukkan dua wilayah yang
bersebrangan ini: cinta dan profesi?
Seingatku,
waktu itu, ketika dalam perjalanan pulang dari kantor menuju rumah, jalanan
tampak macet. Tetapi rasanya kepalaku lebih parah macetnya. Terlalu banyak
keinginan berjubel dan masing-masing minta didahulukan*. Entah bagaimana harus
kujelaskan pada Sisilia perihal keputusan kepala kantor yang sejam lalu telah
menetapkan diriku sebagai seorang pegawai pajak. Aku benar-benar bingung.
Setelah mempertimbangkan segala konsekuensi
yang akan menghadang, kuputuskan untuk mengutarakan saja apa-apa yang telah
terjadi. Sebagai perempuan yang baik dan tulus, Sisilia tidak mudah termakan
oleh gosip murah-meriah orang-orang sekampung, demikian pikirku penuh percaya
diri.
“Tumben,
pulangnya begitu cepat,” tegur perempuan itu sambil melemparkan sebuah pelukan
begitu tiba di rumah. “Akan kubuatkanmu secangkir kopi,” katanya lagi sambil
berlalu menuju dapur.
Sementara itu, mataku mencari-cari mungkin
terdapat sesuatu yang bisa menjadi alasan untuk membuka pembicaraan. Hingga
ketika perempuan itu datang lagi, kali ini dengan secangkir kopi, tokh tetap
saja pikiranku kacau.
“Kamu suka kopi?” Aku berusaha membuka mulut
karena memang saat itu sama sekali tak ada yang hendak kuperbincangkan.
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Kenapa kamu menyukai kopi tetapi sebelumnya telah
dicampur dengan gula pasir?”
“Maksudmu?”
“Kamu percaya takdir, bukan?”
“Iya. Masing-masing kita tentunya,” jawab
Sisilia ketus.
“Orang yang tidak mencintai takdir tentu lebih
sulit menyeruput kopi pahit.”
“Ada-ada saja kamu,” potong perempuan itu
sambil melanjutkan, “di dunia ini terdapat sesuatu yang hanya bisa dirasakan dengan
lidah, campuran air ludah, dan sedikit sensasi dari persinggungan saraf pada
otak.”
Sampai pada level itu, jujur, aku paham akan intensi
mawas dalam kata-katanya. Pertimbangan seperti ini, bagiku di satu sisi membawa
kami semakin dekat pada kreativitas namun terdapat peluang menjadi percuma. Ada
yang coba meluputkan diri dari pernyataan tersebut. Sesuatu yang paling tak
kukira. Sesuatu yang sangat kucinta.
Dan seperti mengetahui maksud tersembunyi yang
mendekam secara rahasia dalam pikiran namun mudah dibaca melalui sinar mataku,
Sisilia mengerutkan kening. Setelah menghempaskan tubuhnya di atas sebuah
kursi, sambil menopang dagu dan menatapku lekat-lekat, ia menangis. Tanpa
suara.
Keesokan
harinya, ketika bangun pagi dan suasana rumah begitu lapang, kurasakan ada yang
hilang: diriku sendiri.
Dua
Aku
masih hafal bentuk wajahnya. Sorot mata yang lembut dan gegas. Corak bibir tempat
kata-kata ditanak berkali-kali sebelum meloncat keluar sebagai sabda. Mancung
hidung sepanjang mungil jari manis menopang berbagai keletihan. Semuanya masih
kuingat. Jauh berabad-abad sebelum aku dilahirkan ke dunia sebagai manusia. Selanjutnya
menjadi sesosok makhluk yang kemudian dikutuk menjadi seorang pegawai pajak.
Di tepi danau, selepas senja memerah, kami
bertemu. Awalnya aku mengira ia seperti kebanyakan orang di kampung yang
berusaha menyingkir bila secara tak sengaja berpapasan denganku. Atau
mencibirkan bibir sembari membuang ludah.
Bergetar
seluruh tubuhku tatkala menyadari kalau pemuda itu bukan saja memandangku
tetapi malah berjalan mendekatiku. Mendadak ingin kucegah saja kedatangannya.
Tetapi entah mengapa seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk menggagalkan
niat tersebut. Di belakang punggungnya, kusaksikan puluhan orang mengikuti
kakinya melangkah. Pemimpin agama, para pejabat pemerintahan, polisi, para
guru, kaum migran, anak-anak terlantar, dan pelacur. Meskipun dikerubungi oleh
berbagai orang, toh orang muda itu tampak unik. Berbeda dari orang kebanyakan.
Dan aku tak tahu bagaimana sampai penilaian seperti itu tiba-tiba bercokol dalam kepalaku.
Dan aku tak tahu bagaimana sampai penilaian seperti itu tiba-tiba bercokol dalam kepalaku.
“Ikutlah
aku,” sapanya lembut sambil mengulurkan tangan, “aku mau menumpang di rumahmu
hari ini.”
Apa yang membuat orang muda ini sampai berniat
menumpang di rumahku? Sudah tololkah ia sehingga mengira semua akan baik-baik
saja setelah itu? Atau jangan sampai ia satu-satunya orang asing yang tidak
tahu seperti apa kondisi kampung ini? Terhadap pertanyaan tersebut, membuatku
benar-benar kalut.
Kuberlari mendahului rombongan menuju rumah. Menyiapkan
makanan. Meja makan yang panjang, kujejali dengan ranum anggur hitam. Beberapa
orang pembantu bergegas menuju ladang memilih domba jantan. Menyuguhkan tamu
dengan daging domba jantan tambun yang dipanggang tentu jauh lebih lezat.
Lima
menit berselang, setelah segala jamuan telah siap, masuklah orang muda itu ke
dalam rumah. Ia tersenyum sambil merangkul tubuhku sebelum memilih sebuah kursi
di pojok kiri sebagai tempat duduknya. Bersamanya, ada sekitar dua belas lelaki
dan seorang perempuan yang turut serta. Hanya saja perempuan yang kemudian duduk
bersimpuh di bawah kakinya seolah-olah menjadi sesosok masa lalu yang pernah
singgah di hatiku.
“Tidak sadarkah orang ini jika perempuan itu
adalah pendosa,” bisik seorang pembantuku seakan-akan membaca isi pikiranku.
Lamat-lamat beberapa pemimpin agama masuk dan
menegur salah satu dari kedua belas pengikut orang muda itu, “Mengapa gurumu
makan bersama-sama dengan pegawai pajak dan orang berdosa?”
Mendengar itu, sejurus kemudian, orang muda itu
bangkit berdiri. Ia menatap sekeliling.
“Hari ini telah terjadi keselamatan kepada
rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham, “ katanya sambil menepuk-nepuk
bahuku, “ Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku
datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka
bertobat.”
***
Beberapa bulan kemudian, tersiar kabar
mengerikan. Sebuah berita yang sudah kuperkirakan sebelumnya: orang muda itu
mati dibunuh.
Di bawah salib (ketika menulis cerita pendek
ini), tempat tubuhnya digantung para prajurit, aku merasa begitu diberkati.
Sebagai seorang pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, belum pernah kurasakan
kebahagian sebesar ini.
Maumere, 2015.
*Joko Pinurbo, Haduh, aku di-follow (Jakarta:
KPG, 2013), hlm. 81
Comments
Post a Comment