(Analisis Semantis Puisi-puisi Kristo Suhardi)
Mengenal Kristo Suhardi
Kristo Suhardi (Lahir
di Ruteng, 2 Mei 1988) menaruh minat pada dunia sastra semenjak belajar di
Seminari Menengah Pius XII Kisol, Manggarai Timur (2001-2007). Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas, ia lalu belajar
filsafat di STFK Ledalero (2009-2013).
Selain menulis puisi, ia juga gemar menulis cerpen dan
membuat beberapa tafsiran singkat filosofis atas beberapa karya sastra. Saat
ini Kristo sedang bekerja di Harian Umum Flores Pos Ende, sebagai wartawan
dan editor.
Kristo merampungkan studi filsafatnya di Ledalero
setelah menyelesaikan skrispinya yang berjudul “Memahami Seksualitas Manusia
dalam Eleven Minutes Paulo Coelho”. Skripsi
ini merupakan salah satu upayanya untuk membaca, menafsir, dan menelaah karya
sastra dari perspekstif filsafat.
Beberapa penyair besar yang begitu dikaguminya antara
lain Kahlil Gibran, Paulo Coelho, dan Joko Pinurbo. Dalam artikel ini, saya
ingin mengulas dua buah puisi (Ziarah I
dan Ziarah II) yang pernah dijuarainya
pada ajang menulis puisi tingkat STFK Ledalero.
Nietzsche: Kematian
Allah
Frederich
Nietzsche, salah seorang filsuf Postmodernisme, penggagas “kematian Allah”
merupakan pintu masuk dalam memahami puisi-puisi Kristo Suhardi, khususnya
menggugat hakekat iman Katolik. Catatan historis menjelaskan bahwa Nietzsche hadir sebagai
“seorang nabi”, menerobos moralitas kristen yang terlampau memiskinkan proses
aktualisasi diri manusia.
Agama
menjadi biang kemunduran kreativitas manusia, yang pada akhirnya menghantar
manusia pada kemandulan jati diri. Manusia, oleh karena agama, bergerak dan
berekspresi di bawah kedaulatan absolut konsep Allah. Dengan kata lain, extra ecclesia nulla salus, di luar
gereja tidak ada keselamatan.
Untuk
keluar dari kondisi ‘sesat’ ini, manusia perlu membunuh Allah. Hanya dengan
begitu, manusia mampu berkembang dan bertumbuh secara otonom tanpa alibi
“proyek iman” yang superorganik
(diwariskan secara turun-temurun dari kecil).
Allah
perlu dibunuh demi perwujudan diri manusia yang absen intervensi mutlak dari
realitas transenden serentak abstrak tersebut.
Ketika Allah telah
mati, dan manusia ketiadaan patokan moralitas yang universal, kehidupan
berjalan secara bebas tak terkendali. Manusia kehilangan dasar, orientasi, dan
pegangan hidup. Manusia kehilangan horizon.
Bumi dan matahari tidak
berputar dengan arah sebagaimana biasa, seolah-olah mengaduk manusia ke atas ke
bawah, ke depan ke samping. Tidak ada lagi arah yang persis karena semuanya
tersesat dalam ketiadaan berhingga. Semuanya gelap pekat.
Lalu dalam situasi
demikian, terpaksa manusia harus bangkit menata dunia, suatu ajaran hidup dan
citra manusia tanpa Allah lama. Segala sesuatu harus direkonstruksi mulai dari
filsafat, moral, kesenian, ilmu pengetahuan, dan politik. Singkatnya, harus
diusahakan suatu Umwertung aller Werte
yaitu transvaluasi semua nilai.
Hanya dengan
demikianlah, manusia luput dari kehancuran akibat nihilisme. Dengan cara ini,
manusia sanggup merombak seluruh tatanan moral dan iman Katolik, yang hemat
Nietzsche, tersembunyi dalam oportunisme terparah.
Tatanan moral Katolik
dinilai sedang sakit dan sedang tertidur dalam kemunafikan. Penghayatan iman
tidak lagi otentik karena agama sering menjadi suatu cara hidup yang rumit dengan
aturan-aturan tabu bahkan kadang-kadang disamakan dengan khayalan-khayalan suci
yang tidak menyentuh realitas. Saya pikir demikianlah kerinduan dasariah yang
ingin diangkat dalam kedua puisi Kristo.
Nihilisme: Pasca
Kematian Allah
Situasi
kehidupan tanpa Allah yang menjadi dasar dan pegangan menjerumuskan manusia
pada nihilisme. Dalam Die Fröhliche
Wissenschaft, Nietzsche
bercerita mengenai orang gila yang membawa sebuah lantera menyala ke
tengah-tengah pasar dan berseru terus-menerus: “Aku mencari Allah! Aku mencari
Allah!”.
Dan
pada “Ziarah I”, Kristo dalam nada yang sama, mencatat: Terlalu letih aku mencarimu tanpa peta dan arah/Aku tidak tahu/di mana
persisnya engkau/berada/di persimpangan dunia ini//Barangkali.../kau terdampar
dalam ritus/yang kusembah/atau tersesat dalam dogma/yang kupuja//Barangkali???
Dengan
mengunyah nihilisme sambil mencaci maki diri sendiri, iman menjadi mungkin.
Nihilisme sesungguhnya mengajak manusia yang menyandang predikat “beriman”
untuk tidak telalu cepat menemukan kesimpulan final tentang Allah.
Menurut
perspektif eskatologis radikal, iman tidak pernah selesai (oleh Kristo,
tereksplisit dalam morfem “Barangkali”), tidak pernah tersedia, tidak pernah
terjamin, iman-selalu dan terus-menerus-merupakan loncatan ke dalam
ketidapastian, ke dalam kegelapan, ke dalam ruang hampa tanpa pijakan.
Menyitir
filsuf Karl Jaspers, “bukankah keberadaan bukti berarti kematian iman?” Bahkan
secara tragis, teolog Protestan Bultmann dalam kredonya, menulis: “...tidak
mengandung dari Roh Kudus, tidak dilahirkan oleh Perawan Maria, memang
menderita di bawah Pontius Pilatus, disalibkan, wafat, dan dimakamkan, namun
tidak turun ke tempat penantian, tidak bangkit pada hari ke-3 dari antara orang
mati, tidak naik ke surga.” Saya tidak berani membayangkan apa reaksi umat
beriman jika melafalkan kredo semisal ini.
Proposisi
ini mengisyarakan kewajiban menghadirkan proses dialektika di mana terbuka
lebar peluang bagi pertentangan, saling menggigit, menggasak, dan memberontak
guna mengasah ketajaman hakikat iman manusia. Kristo mengungkapkan konsep ini
dalam diksi yang dipilih dan cenderung diulang beberapa kali dalam kedua
puisinya, seperti: darah, sesat, tersesat, riuh, dan terkelupas.
Filsuf
Michel Foucault, pernah “menyindir” Nietzcshe dengan berkata, ”Tidak mungkin
mengakui kematian Allah sambil menghindar
dari kenyataan adanya kematian manusia.” Konsekuensinya memang logis yaitu
Nietzsche memang telah mati. Bahkan kematiannya diawali dengan situasi sekarat
karena mengidap skizofrenia.
Dari
situ, dapat disimpulkan bahwa akibat dari adanya kematian Allah, selalu
mengisyaratkan kematian identitas. Dalam puisi “Ziarah II (untuk Nietzsche)”,
Kristo membaca konteks tersebut dengan sangat baik.
Saya
kutip secara lengkap puisi itu-dengan maksud memudahkan pembacaan atas makna
yang integral di balik kedalamannya yang tersembunyi atau mungkin sengaja
menyembunyikan dirinya-demikian:
Beratus tahun
setelah/kepergianmu yang tak pernah/pulang/riuh buih badai yang/menggigil,
antarkanku/melawatmu/di suatu waktu ketujuh, di langit/ketujuh belas, dan
merajuk/’kau harus segera pulang, riuh/ribu rindu mendambamu’/Dibabat renyah
rayu, ia/tersenyum kecut/aku tidak mungkin pulang,/jalan pulang telah
terpalang./Oleh beribu lantun doa dan/ayat succi yang mendesakku/ke tempat,
yang diberi nama/neraka, yang entah/mintalah pada tuhan, tujuh/puluh tujuh
pendoa/yang setia madahkan selarik/mazmur yang bersimbah/darah/Merunduk malu,
meski/terpukul, kembali kubujuk ia/’kau harus pulang, doa kami/tak lagi menjumpai
surga/tersesat dan hilang dalam/perjalanan menjumpai tuhan’/Setengah kaget, ia
bergurau/heran/tepat ketika sepotong ayat suci/terkelupas lacur/’Sia-sia, asah
aza yang tidak/manjur. Kasi’an...’/Sedikit ragu, kukatakan/padanya/’tuhan telah
disesatkan oleh/tuan abdi tuhan/yang lupa kalau tuhan tidak/butuh darah/dan
pintu surga tidak butuh/bangkai kepala untuk dibuka’/Tampak tergesa,
sambil/kenakan nalar dan sedikit/iman, ia berujar/’aku akan merajam tuan tuhan
yang baru/yang lalai untuk ingat, tuhan/dari keabadian yang mereka/sembah/dalam
sujud tak putus/tak pernah bertopeng/pembunuh’/Dan ziarah kala itu perlahan/mekar
di bibir derita/Potongan ayat suci dan ritus/pudar terkelupas, putus/ia akan
datang lagi...
Terdapat
beberapa kerangka pembacaan sebelum memahami puisi yang ‘vulgar’ ini. Pertama, terdapat ragam bahasa dalam
diskursus tentang Allah. Baik menggunakan bahasa percakapan, bahasa ilmiah,
bahasa puitis, maupun “bahasa diam”, toh tidak pernah sanggup membahas “Allah”
secara niscaya.
Bahkan—menyitir
Jhon Orong, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia pada STFK Ledalero―morfem “tuhan”
secara derivatif balik akan membentuk makna kontradiktif pada morfem “hantu”.
Hal
ini menegaskan bahwa memang demikianlah Allah: tremens et fascinans, menggetarkan sekaligus menakutkan.
Kedua,
hakikat doa sebagai pengalaman iman. Rumusan doa, ritus-ritus, dan tradisi yang
dihidupi oleh suatu agama tidak selalu menjadi ajang justifikasi kualitas iman seseorang. Pembakuan doa sebagaimana
doktrin komprehensif moralitas kristen, itulah yang dikritik oleh Nietzsche.
Dan dalam puisi di atas, Kristo dengan sangat baik mengangkat kembali tema
besar yang pernah dikritik oleh Nietzsche tersebut.
Ketiga,
puisi ini ditulis secara naratif dan bukan terdiri atas beberapa bait melainkan
satu kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu, penggalan kalimat yang tidak tepat
sangat memengaruhi kualitas pemahaman atas puisi, selain daripada
fragmen-fragmen yang terpisah bahkan bertolakbelakang.
Percaya Pada Allah
Tanpa (Harus) Melalui Agama
Nietzsche,
setelah lahirnya nihilisme, menganjurkan agama populer sebagai kompenisasi
kekosongan hidup. “Kematian Allah” merupakan titik pijak awal bagi manusia
untuk semakin kreatif dalam menghadapi kehidupan sesulit apa pun itu.
“Allah”
ini tidak lagi dibicarakan dalam terang iman-metafisis tetapi harus ditafsir
dalam terang kodrati manusiawi disertai pada penegasan rumusan pernyataan
poetik. “Allah” yang membuat manusia menjadi gamang dan gagu ketika menghadapi
penderitaan dalam hidup harus diganti dengan kondisi baru yaitu kehendak untuk
mengatasi diri sendiri dan aneka penderitaan yang menghadang. Dan ziarah kala itu perlahan/mekar di bibir
derita, demikian Kristo menulis.
Itu
artinya, tidak ada hidup tanpa kehendak untuk mengatasi kehendak dan kekuasaan
atas hidup itu sendiri. Demikianlah agama populer ini, lebih menganjurkan
penderitaan daripada kebahagiaan.
Dalam
situasi demikianlah, hidup menemukan prinsip-prinsip tertingginya.
Dan hanya
dengan manusia menjadi “Allah” bagi dirinya sendiri, cara pandang terhadap
hidup sebagai kompleksitas nilai-nilai senantiasa direvaluasi.
Paul
Tillich dalam Systematische Theologie
menulis: “Sebagaimana dalam Kristus kenyataan ilahi masuk ke dalam kenyataan
duniawi, demikian pula sesuatu yang bersifat kristiani hanya bisa ada dalam
yang duniawi, yang adikodrati hanya bisa ada dalam yang kodrati, yang suci
hanya bisa ada dalam yang profan, yang diwahyukan hanya ada dalam yang masuk
akal.”
Pada
konsep ini, hanya ada satu dunia. Dengan itu, terjawablah keberatan Feuerbach
dan Marx yang mengatakan bahwa agama hanyalah hiburan untuk dunia seberang,
dunia sesudah kematian.
Jalan pulang telah terpalang./Oleh beribu lantun doa dan/ayat succi yang mendesakku/ke tempat, yang diberi nama/neraka, yang entah/mintalah pada tuhan, tujuh/puluh tujuh pendoa/yang setia madahkan selarik/mazmur yang bersimbah/darah/Merunduk malu, meski/terpukul, kembali kubujuk ia/’kau harus pulang, doa kami/tak lagi menjumpai surga/tersesat dan hilang dalam/perjalanan menjumpai tuhan’/.
Tragisnya,
agama malah telah menjadi penghalang besar bagi perwujudan iman manusia oleh
karena praktek klerikalisme dan tradisi yang ketat. Bahkan rumusan doa yang
baku, yang didaraskan secara rutin tanpa pernah tahu doa itu disusun oleh dan
untuk siapa.
Singkatnya,
penghayatan iman manusia masih sangat terbatas pada teks, tak berani beranjak
dari sana menuju konteks “teks” dalam keseharian hidup.
Tidak
mengherankan jika kita sering menyaksikan betapa seseorang yang menghabiskan
banyak waktu dengan berdoa namun dalam kenyataan hidup konkret gagal menemukan
korelasi kreatif antara apa yang didoakan dengan penghayatan praktisnya. Orang
ini mengingatkan saya akan seorang pekerja yang setiap saat ingin bertemu
dengan majikannya dan pada saat yang sama menelantarkan pekerjaannya.
Bukan
hal baru lagi ketika di mana-mana terdapat aneka pergolakan, kekerasan, dan
diskriminasi sosial yang dilatarbelakangi oleh sikap fundamentalistik dalam
agama tertentu.
Memang,
dalam konteks tertentu, rasanya agak janggal jika menempatkan agama sebagai
satu-satunya alasan fundamental kelahiran potret buram di atas karena terdapat
juga faktor lain seperti, kepentingan, politik, mekanisme pasar, dan
sebagainya.
Namun
yang menjadi persoalannya adalah, semua pelaku kejahatan, pemerkosaan, dan penyelewengan
terhadap Hak Asasi Manusia sejatinya adalah manusia beragama.’tuhan telah disesatkan oleh/tuan abdi
tuhan/yang lupa kalau tuhan tidak/butuh darah/dan pintu surga tidak
butuh/bangkai kepala untuk dibuka’/.
Masih
pantaskah Allah dibela? Dan jika masih, sesuatu atau seseorangkah “ia”?
Autosuperamento
Membaca
puisi Kristo Suhardi di atas, menghantar kita pada suatu horizon yang garing,
bahkan garang. Teknik yang ditawarkannya,
hemat saya adalah autosuperamento,
melampaui diri.
Selaras
dengan itu, filsuf eksistensialis, Kierkergaard dalam salah satu sajaknya
menulis: “Yang aku perlukan adalah kekuatan untuk menghayati kehidupan.”
Bukan
kekuatan kehidupan pengetahuan, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan
akar-akar eksistensi, sesuatu yang dapat menjadi pegangan seandainya seluruh
dunia dan sekitarnya hancur-berantakan.
Kecemasannya
beralasan tatkala kemajuan saintisme pada gilirannya menjadikan manusia sebagai
produk pabrik yang oleh Hemingway disebut, “manusia yang pergi di jalan gelap
tanpa tujuan dan tanpa ke mana-mana,” sehingga “manusia akan terbuang percuma,”
kata George Orwell.
Jika
demikian, manusia seperti apakah yang pantas hidup agar tidak terjebak dalam
kecemasan T. S. Elliot sebagai “manusia rongga kosong dalam negeri keji”?
Albert
Camus lalu menganjurkan Sisyphus,
Goethe menampilkan Faust, dan Kristo
Suhardi, serta Nietzsche tentunya, mengusung Zarathustura (ubermensch, supermen, adimanusia).
Harapan
akan datangnya sosok manusia tersebut secara sengaja disematkan Kristo pada penutup
puisi Zaiarah II dengan menulis: ia akan
datang lagi.. Dan hemat saya, keyakinan akan datangnya manusia jenis ini,
lahir dari pergulatan luar biasa dalam diri Kristo sebagai seorang penyair.
Atau
secara blak-blakan, saya memberanikan diri untuk sekadar menafsir pergulatan
eksistensial penyair—yang adalah calon imam—dengan konteks dunia di mana ia
hidup dan berada.
Dalam
artikel ini, saya membatasi diri dalam penafsiran teks sastra tanpa perlu
mengaitkan yang seharusnya tidak perlu-apalagi kehidupan panggilan penyair.
Hanya dengan demikian, artikel saya ini diluputkan dari “keterlanjuran” untuk
dipengaruhi oleh orang yang saya ulas karyanya.
Tidak
ada pergulatan yang lebih besar daripada pergulatan yang terjadi di dalam diri
manusia (dalam diri penyair Kristo). Reinholo Niebuhr dalam The Nature and Destiny of Man (1943)
pernah mengungkapkan permasalahan pelik bahwa “manusia itu merupakan problem
yang membingungkan.Salah
satu keistimewaan serta keunikan manusia adalah bahwa manusia menjadi problem
bagi dirinya sendiri.”
Derrida
pernah menulis, “Saya tidak percaya orang (baca: iman) hidup terus, post-mortem.” Tetapi kata-kata yang
diutarakannya, yang ditulisnya, hidup terus, survive, di atas atau mengatasi (sur)
hidup (vivre), melampaui atau
mengatasi kehadiran. Allah selalu melampaui eksistensi―tetapi bukan berarti
Allah tidak eksis―dan aktus memikirkan, membincangkan dan menelanjangi konsep
kemanusiaan manusia, memungkinkan adanya pembicaraan tentang Allah.
Bukankah
“kematian Allah” selalu pasti mengakibatkan kematian bagi manusia itu sendiri?
Oleh
karena itu, penawaran Kristo untuk autosuperamento,
melampaui diri menjadi sangat penting. “Man is nothing else but what he makes
of himself,” tulis J. P. Sartre.
Dengan
begitu, membaca puisi-puisi Kristo mengingatkan saya akan novel Ziarah karya Iwan Simatupang yang pada
salah satu bagian ditulis:
Juga pagi itu dia bangun dengan rasa hari itu dia bakal bertemu dengan isterinya di salah satu tikungan, entah tikungan mana. Sedang isterinya telah mati entah berapa lama. Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan pada dirinya sendiri.
Sebuah
lompatan ke dalam apa yang tidak diketahui namun membebaskan, ke dalam
kegelapan namun menjernihkan kepekaan. Ke dalam kejatuhan namun tidak menolak
untuk bangkit.
Hanya
dalam situasi demikian, manusia selalu menemukan alasan-alasan untuk hidup yang
lebih berarti-yang oleh Kristo, tak jarang lalai
untuk ingat tuhan.
Comments
Post a Comment